Sabtu, 21 Maret 2015



MAKALAH SENI RUPA TERAPAN
PULAU SULAWESI
(makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata pelajaran seni budaya) 
   
Disusun oleh :
Alfi Nur Hidayah
Alivian Irma Danti
Amalia Sri Maryuni
Lia Chusni Awaliah
Qomarotun Nurun Ni’mah

Kelas X-3 Tp.2014/2015
SMA A.WAHID HASYIM

Jl.Irian Jaya No 10 Tebuireng Jombang





KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah- Nya sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadira
t Allah SWT, karena hanya dengan kerido’an-Nya Makalah dengan judul "SENI RUPA TERAPAN" ini dapat terselesaikan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Joko Pitono selaku guru Seni Budaya dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
            Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.


Penulis,

Tebuireng, 07 Maret 2015



DAFTAR ISI                                                                                         
KATA PENGANTAR …………………………………………………………
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
BAB I :        PENDAHULUAN .………………………………………………
A.  Latar Belakang …………………………………………
B.    Tujuan …………………………………………………
BAB II :       ISI………………. ………………………………………………
A.    Seni Rupa Terapan …………………………………
B. SULAWESI…………………………………………   
C. Seni Terapan  Nusantara di Pulau Sulawesi …………
BAB III :     PENUTUP ……………………………………
 KESIMPULAN………………………………………………….
                      DAFTAR PUSTAKA……………………………………………





BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. 

B.           Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu dalam pemenuhan tugas yang telah diberikan oleh guru pengajar. Penyusunan makalah ini merupakan sebuah bentuk pengaplikasian dari bagian proses pembelajaran yang cukup kompleks tentang seni nusantara. Untuk memperjelas pengaplikasian tersebut, maka dapat di rumuskan sebuah maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
a.  Mengetahui pengertian Seni Rupa Terapan Nusantara
b. Mengidentifikasi Seni Rupa Terapan dari wilayah Sulawesi





BAB II
ISI
A.          Seni Rupa Terapan
Seni rupa terapan adalah karya seni rupa yang dirancang untuk tujuan fungsional, yaitu untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis (kejiwaan) manusia. Seni rupa terapan memiliki fungsi guna atau pakai. Artinya selain sebagai benda yang bernilai seni (artistik) juga sebagai benda yang indah (estetis) dan dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Contoh benda seni terapan antara lain benda-benda gerabah dari tanah liat, benda-benda anyaman, kerajinan keramik, peralatan rumah tangga, kerajinan furniture. Karya seni rupa terapan daerah setempat diciptakan untuk tujuan melestarikan nilai-nilai tradisi dan adat dalam proses serta teknik berkarya seni rupa daerah setempat. Bentuk, model, teknik, dan media memiliki keunikan/karakteristik tersendiri, sebagai kekayaan seni budaya.
 Karya seni rupa terapan daerah setempat yaitu karya seni rupa yang memiliki fungsi pakai/guna, dibuat dengan teknik (cara) dan media yang ada di daerah setempat, sebagai aset atau kekayaan budaya nasional.
B.           SULAWESI
Pemerintahan di Sulawesi dibagi menjadi enam provinsi berdasarkan urutan pembentukannya yaitu provinsi :
1)            Sulawesi Selatan
2)            Sulawesi Utara
3)            Sulawesi Tengah
4)            Sulawesi Tenggara
5)            Gorontalo
6)            Sulawesi Barat


C.      Seni Rupa Terapan Nusantara : SULAWESI
*                      Seni Terapan Dari Sulawesi Barat

1.         KERIS


Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit
Media(alat dan bahan) pembuatannya adalah bahan utamanya baja strip paduan rendah 20 kg, baja perkakas  1 kg, arang kayu jati 500 kg; bahan tambah nikel 100 gram; bahan finishing yaitu menyepuh (garam 2 kg, belerang 3 kg, air 1 liter), mewarangi (jeruk nipis 1 liter, bubuk warangan 30 gram), dan alat untuk membuat keris terdiri dari alat untuk menempa (paron, palu tempa 1 kg , palu godam, tang tempa, air pendingin), alat untuk memotong (pahat, gergaji), alat untuk membentuk keris (kikir, gerinda tangan, bor tangan, ragum , pahat ukir), alat untuk mewarangi (batu asah), (3) Proses pembuatan keris melalui beberapa tahap yaitu menyiapkan bahan, menyiapkan alat, proses menempa (masuh, mencampurkan antara besi dengan nikel menjadi lapisan pamor disebut sebagai saton , membentuk kodhokan, membuat gonjo), anggrabahi, membuat ricikan, finishing.
2.            KAIN KHAS
Sarung tenun sutra Mandar memiliki warna–warna cerah atau terang seperti merah, kuning dengan desain garis geometris yang lebar. Meskipun memiliki pola sederhana namun benang perak dan emas yang menjadi bahan dasar kain sutra ini menjadikan Sarung tenun sutra Mandar terlihat indah dan istimewa. Dikenal sebagai salah satu produk sutra yang paling halus di Nusantara, Sarung Tenun Sutra Mandar bukanlah kain yang dapat dikenakan untuk sehari-hari. Seperti halnya kain Ulos milik suku Batak di Sumatera Utara yang hanya digunakan pada acara tertentu saja. Sarung Tenun Sutra Mandar pun hanya dikenakan pada acara-acara tertentu misalnya pernikahan, upacara keagamaan dan kadang-kadang untuk shalat Jumat di masjid.
Umumnya, Saqbe Lipaq memiliki dua motif berbeda yaitu Sure’ dan Bunga. Motif Sure’ berbentuk garis geometris sederhana yang merupakan motif Saqbe Lipaq klasik. Sedangkan motif Bunga merupakan perpanjangan dari motif Sure’ dengan penambahan berbagai dekorasi. Secara tradisional, motif Sarung Tenun Sutra Mandar dirancang berdasarkan kasta atau tingkatan derajat mereka yang memakainnya seperti keluarga kerajaan, pejabat pemerintah, pedagang kelas atas dan lain-lain. Di antara beberapa motif tradisional yang umum adalah: Salaka, Padzadza (Parara), Taqbu, Aroppoq, Pandeng, Pangulu, Benggol, dan lainnya. 
Hingga saat ini Lipaq Saqbe masih diproduksi dengan metode konvensional sehingga untuk menghasilkan selembar Saqbe Lipaq dapat memakan waktu 2 sampai 3 minggu, bahkan berbulan-bulan tergantung pada kesulitan motifnya. Proses ini dimulai dari menguntai benang sutra dari kepompong sutra melalui Ma'unnus (menarik benang dari kepompong) dan Ma'ttiqor (Pemintalan benang). Akan tetapi, saat ini ada banyak benang sutra sudah tersedia di pasaran. Selanjutnya, benang sutra akan menjalani proses pewarnaan. Beberapa produsen Saqbe Lipaq masih menggunakan zat pewarna alami seperti daun nila, kalanjo (kelapa bertunas), bakko (kulit Mangrove), dan lainnya. Proses pewarnaan ini dikenal sebagai macingga.Proses selanjutnya disebut manggalerong proses dimana benang sutra yang sudah diwarnai ditempatkan pada sepotong benda bulat (biasanya bambu) kemudian diputar untuk membuat gulungan benang sutra. Setiap gulungan benang sutra (galenrong) hanya terdiri dari satu warna saja. Gulungan benang sutra kemudian ditempatkan pada alat yang disebut pamalingan dan siap untuk proses menenun. Setelah mempersiapkan benang dalam proses yang disebut sumau dan mappatama, proses menenun atau manette dapat dimulai. Proses menenun Saqbe Lipaq menggunakan mesin tenun tradisional Mandar yang disebut parewa tandayang. Parewa tandayang telah digunakan dari generasi ke generasi mulai dari nenek moyang masyarakat Mandar. Selain dari keterampilan tenun sarung sutra, kemampuan memproduksi parewa tandayang sendiri juga diwariskan dari generasi ke generasi.
3.    Rumah adat
Rumah adat Mandar, yakni rumah panggung yang memiliki bentuk yang hampir sama dengan rumah adat suku Bugis dan Makassar. Perbedaanya pada bagian teras (lego) lebih besar dan atapnya seperti ember miring ke depan. Bentuk rumah panggung yang berdiri diatas tiang-tiangnya dimaksudkan untuk menghindari banjir dan binatang buas. Dan apabila semakin tinggi tingkat kolong rumah menandakan semakin tinggi pula tingkat status sosial pemiliknya.  Atap rumah umumnya terbuat dari sirap kayu besi, bambu, daun nipah, rumbia, ijuk atau ilalang. Tangga terbuat dari kayu (odeneng) atau bambu (sapana) dengan jumlah anak tangganya ganjil. Tingkat dinding berbentuk segitiga yang bersusun sebagai atap juga menunjukan kedudukan sosial pemilik rumah.

4.           Pakaian Tradisional
   Di Sulawesi Barat mempunyai keragaman baju tradisionalnya. Pakaian tradisional Sulawesi Barat biasanya dikenakan dalam pertunjukan tari, acara pernikahan dll yang memiliki keragaman dalam busananya.
Pakaian adat pada pria mengenakan jas yang tertutup dan berlengan panjang, dipadukan celana panjang sebagai pakaian bawahnya. Terdapat kain sarung yang dililitkan pada pinggangnya sampai kelutut. Sedangkan pakaian adat pada wanita Sulawesi Barat mengenakan baju Bodo dengan dihiasi kalung, gelang serta giwang. pada bagian kepala dikenakan sanggul dan beberapa hiasannya. Pakaian bawah dikenakan sarung yang dikenakan seperti rok.
pakaian adat Sulawesi Barat

PAKAIAN ADAT LAIN


Provinsi Sulawesi Barat memiliki keragaman tata busa atau baju tradisionalnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tari tradisional Sulawesi Barat yang memiliki keragaman dalam busananya.Misalnya, pada tari Bamba Manurung yang merupakan tarian adat Tradisional yang biasa dipertunjukkan pada saat acara pesta Adat Mamuju di hadapan para penghulu adat dan tokoh masyarakat Mamuju. Busana yang dipakai pada tari tersebut bernama baju Badu. Adapun perlengkapan atau aksesoris yang menghias pada baju ini ialah bunga beru-beru atau bunga melati dan kipas

Ada lagi tari Bulu Londong yang merupakan tarian tradisional yang dilakukan sebagai pengucapan syukur dalam acara Rambutuka. Tarian ini menggunakan baju adat mamasa. Baju adat mamasa terbuat dari bulu burung. Adapun aksesoris yang melengkapi baju adat ini ialah kepala manusia, sengo, terompet alam bambu, tombak atau pedang
Tarian yang lainnya ialah tari Ma’bundu  yang merupakan tarian perang tradisional kreasi baru yang dipadukan dengan beberapa tarian Tradisional Kecamatan Kalumpang dan kecamatan Bonehau  Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Busana yang dipakai pada tari ini ialah pakaian kebesaran BEI. Baju kebesaran BEI dihiasi dengan ukir-ukiran yang  terbuat dari kerang kecil. Pakaian kebesaran BEI dihiasi dengan topi bertanduk dan berpalo-palo. Aksesori pada bagian tangan berupa potto ballusu (gelang-gelang ditangan). Para penari menggunakan tombak, gendang.
Selain baju adat yang biasa dikenakan dalam pertunjukan tari, Sulawesi Barat terkenal dengan tenu ikat tradisional sekomandi yang berasal dari Kalumpangan. Tenun ikat tradisional merupakan produk budaya yang telah berusia ratusan tahun dan terus dipelihara oleh masyarkat adatnya. Tenun Tradisional Sekomandi Kalumpang, terbuat dari kulit kayu dengan pewarna alami. Pewarna tersebut diambil dari salah satunya cabai. Untuk memberi warna, mula-mula kulit kayu ditumbuk kemudian diolah untuk  pintal.  Untuk membuat zat pewarna alami dari cabai, cabai di racik dan kemudian di campurkan dengan corak warna lainnya yang diinginkan. Biasanya tenun ini di dan  didominasi dengan warna  hitam, coklat, merah, dan kream.  Warna dasar adalah hitam.

Keunikan kain tenun ini terdapat di pola, warna, dan struktur kain. Semuanya dikerjakan dengan tangan dan di tenun dengan alat tradisional. Dbutuhkan waktu berminggu-minggu hingga hitungan bulan untuk memperoleh tenunan kualitas terbaik yang harganya bisa mencapai sepuluh juta rupiah.
Tenun tradisional sekomandi telah dikenal di mancanegara.karena dipasarkan melalui Bali oleh para pembuat kain dari Kalumpang. Banyak juga turis yang langsung membeli dipusat pembuatannya. Tenun ini dapat digunakan untuk untuk pakaian, selendang, taplak, dan banyak lagi.
Pemerintah kabupaten Mamuju secara aktif telah melakukan upaya pelestarian. Pelestarian tersebut berupa pemeliharaan, pendokumentasian, dan mempublikasikan warisan budaya, agar asset parawisata
tradisional tetap terjaga.

5.         TARI DAERAH
Tari Bamba Manurung, ditujukan sewaktu acara pesta Adat Mamuju yang dihadiri oleh para penghulu adat beserta para tokok adat. Pakaian tari ini disebut baju Badu, dan di hiasi oleh bunga melati beserta kipas sebagai perlengkapan tarinya.

- Tari Bulu Londong, ditujukan pada acara Rambutuka sebagai rasa syukur penduduknya.Pakaian tari ini mengenakan baju adat Mamasa yang berbahan bulu burung.  Perlengkapan tari yang dipakai adalah terompet, pedang atau tombak, sengo, kepala manusia dll.

- Tari patuddu ditujukan dalam acara untuk menyambut para tetamu dari luar maupun dalam negeri. Tarian ini merupakan tarian suku Mandar yang tinggal di Sulawesi Barat.
Tari Patuddu

6.     Senjata Tradisional: Badik

Badik atau badek bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar.











*          Seni Terapan Dari Sulawesi Selatan

1.                        Kecapi
Bahan : Kayu dan kawat baja yang kecil.
Bentuk : Seperti perahu
Warna : Sesuai nama kayunya, yang kelamaan berwarna hitam.
Cara pembuatannya
Sebelum pembuatan kacapi dibuat terlebih dahulu menentukan dan memilih bahannya. Bahan untuk alat kacapi ini dibuat dari kayu nangka dan dapat pula dari kayu lengaru (bahasa Kaili). Kayu atau bahannya terlebih dahulu dipilih bagian kayu yang telah tua lurus dan dipotong sepanjang ± 125 - 150 cm. Kayu yang masih bulat itu dibelah dan dibentuk setebal ± 15 cm, kemudian dikeringkan, dan cukup hanya dianginkan saja. Kayu yang setebal (tinggi) ± 15 cm dan lebar ± 20 cm, dibentuk lagi dengan cara: Kira-kira 75 cm dibentuk agak pipih dengan lebar pangkal + 13 cm dan kian ke ujung kian kecil sehingga lebar ujungnya ±7 cm. Bagian yang panjangnya + 75 cm, pada ujungnya dibuat seperti ekornya dengan ± 6 cm, dan bagian kiri kanan dikeluarkan dan bagian tengahnya dengan garis tengah ± 22 cm dari ekor kacapi, dan dibuat lubangditengah-tengah yang tembus ke bawah.
Pada jarak ±55 cm dari tiang bundar dibuat lagi sebanyak 5 tiang yang bergandengan dengan garis tengah ± 2 1/2 cm dengan jarak tiang masing-masing ± 5 cm. Dibagian belakang atau bawah dari badan kacapi yang berbentuk bundar telur dibuat rongga (digali) sepanjang badan kecapi tersebut. Selesai dibuat rongga, lalu ditutup lagi dengan papan tipis yang juga dibuat dari kayu nangka dengan cara dilem atau dipaku papan tipis penutup itu diberi lubang sebanyak 3 lubang. Pada bagian leher yang melengkung ke atas berbentuk tiang dibuat lubang tembus tempat masuknya tali yang dihubungkan dengan kayu pemutar.
Tiang bulat pada bagian badan kecapi diikat dengan kawat yang ditarik kebelakang agar tidak miring bila tali kecapi dikencangka. Dibagian ujung leher masih ada bagian papa tipis sepanjang ± 30 cm, dan pada sisi sebelah-menyebelah dipasang kayu pemutar tali, yang melekat pada lubang. Pemasangan tali kecapi dilakukan dengan cara mengikatkan ujung tali di dalam lubang pada tiang bulat, kemudian ditarik, dimasukkan pada lubang dibagian leher, ujungnya diputar/ dililitkan pada kayu pemutarnya (seperti mengencangkan tali gitar).
Fungsi
Alat kesenian kacapi ini berfungsi untuk mengiringi nyanyian, khususnya nyanyian yang bersyair panjang disebut Dadendate artinya nyanyian panjang yang mempunyai ciri khas. Kecapi ini adalah alat hiburan, baik untuk diri sendiri (petik sendiri dan nyanyi sendiri) maupun bersama teman-teman. Apabila seseorang memiliki/ menyimpan kecapi ini, itu berarti dia pandai bermain kecapi dan pandai membawakan lagu dadendate.
2.                        Rumah adat
Mendengar Tana Toraja yang pertama kali terpikir ialah Sulawesi Selatan dan yang kedua adalah rumah tongkonan. Tepat sekali, bahwa rumah tongkonan merupakan rumah adat Tana Toraja. Rumah adat ini memiliki bentuk unik menyerupai perahu dari kerajaan Cina pada zaman dahulu. Tongkonan juga disebut-sebut mirip dengan rumah adat asal Sumatera Barat, yaitu rumah gadang.  Rumah adat ini masih ditinggali sebagai tempat beraktivitas sehari-hari. 
“Tongkonan” sendiri berasal dari kata “tongkon” yang berarti duduk. Tongkonan berfungsi untuk pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja pada zaman dahulu. Rumah ini merupakan warisan secara turun-temurun dari nenek moyang rang Tana Toraja.Rumah ini tidak bisa dimiliki perorangan
Rumah tongkonan dianggap sebagai ibu oleh Masyarakat Toraja. Sedangkan bapaknya adalah alang sura (lumbung padi). Rumah tongkonan memiliki tiga bagian di dalamnya, yaitu bagian utara, tengah, dan selatan. Tengalok, yaitu ruangan di bagian utara berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat anak-anak tidur, serta tempat menaruh sesaji. Ruang sambung, yaitu ruangan sebelah utara merupakan ruangan untuk kepala keluarga namun juga dianggap sebagai sumber penyakit.  Ruangan yang terakhir, yaitu ruangan bagian tengah yang disebut Sali. Ruang ini berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati.
Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, Tongkonan Pekaindoran atau Pekaindoran, dan Togkonan Batu A’riri merupakan jenis tongkonan yang memiliki fungsi secara khusus. Pertama, Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, yaitu tempat untuk menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
Jenis kedua Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan, yaitu Tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk. Tongkonan Batu A’riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang.

Utara merupakan arah yang penting bagi rumah adat tongkonan dan masyarakat Tana Toraja. Semua rumah tongkonan menghadap ke utara. Utara dan ujung atap yang berdiri berjejer mengarah ke utara merupakan lambing bahwa leluhur mereka berasal dari utara dan di waktunya nanti mereka akan berkumpul kembali di utara.
Kepala kerbau tak bisa dipisahkan dari rumah adat tongkonan. Kepala kerbau menjadi ciri khas dari rumah tongkonan. Kepala kerbau tersebut ditempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang terpasang di depan rumah semakin tinggi pula derajat keluarga tersebut. Tanduk kerbau di depan tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi keluarga yang mendiami rumah tersebut saat upacara penguburan anggota keluarganya.
Kerbau dikurbankan dalam jumlah yang banyak setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman. Tanduk kerbau yang dikurbankan kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.
Aluk To Dolo merupakan empat warna dasar, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih mewakili kepercayaan asli Toraja. Kematian dan kegelapan dilambangkan dengan warna hitam, sementara kuning melambangkan anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah merupakan warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sementara daging dan tulang dilambangkan dengan warna putih yang artinya suci.
Di sisi barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.
Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman.
Keunikan yang terdapat di rumah tongkonan ialah tidak digunakannya unsur logam (seperti paku) dalam pembuatan tongkonan. Rumah adat tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman.
3.                        BADIK
Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Makassar, Bugis dan Mandar yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.

Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.

Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal. Di Makassar badik dikenal dengan nama badik sari yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa dan banong (sarung badik). Sementara itu badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali rangkong (Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian bagian: Pangulu (ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung)

Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri' dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri' ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain dari pada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.

4.                        BAJU BODO


  



Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan.
Dulu, baju bodo bisa dipakai tanpa penutup payudara. Hal ini sudah sempat diperhatikan James Brooke (yang kemudian diangkat sultan Brunei menjadi raja Sarawak) tahun 1840 saat dia mengunjungi istana Bone.
Perempuan Bugis mengenakan pakaian sederhana. Sehelai sarung menutupi pinggang hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.[2]
Cara memakai baju bodo ini masih berlaku pada tahun sampai tahun 1930-an
Warna
Makna
Jingga
dipakai oleh kanak-kanak perempuan berumur 10 tahun.
Jingga dan merah
digunakan oleh gadis berumur 10-14 tahun.
Merah
bagi wanita berumur 17-25 tahun.
Putih
digunakan oleh para inang dan dukun.
Hijau
khas untuk wanita berketurunan bangsawan
Ungu
dipakai oleh para janda.

5.                        SARUNG SUTERA BUGIS MAKASSAR


Sarung sutera merupakan salah satu kerajinan daerah andalan dari sulawesi selatan, pembuatannya banyak di temukan di daerah Sengkang Kab Wajo. Pembuatannya umumnya masih menggunakan bahan dan alat tradisional. satu buah sarung dapat di buat sekitar 1 bulan lamanya oleh satu orang, seperti pada gambar di bawah ini
Untuk 1 buah sarung sutera dihargai sekitar Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,-  tergantung dari motif dan bahan, sesuai dengan pesanan. Motifnya pun bermacam macam seperti :
Bombang (ombak)
Mungkin karena masyarakat Bugis Makassar terkenal dengan budaya bahari (pelaut), sehingga muncul pula motif bombang (Ombak) pada sarung suteranya. Motifnya berbentuk segitiga sama sisi yang berjejeran dan sambung menyambung.
Balo renni (corak kecil)
Motifnya berbentuk  garis-garis vertikal dan horizontal yang tipis yang saling bersilangan sehingga nampak seperti kotak-kotak kecil atau dalam bahasa bugis “renni”. Kombinasi warna dan kombinasi garis tersebut akan ditemui pada keseluruhan kain sarung ini. Kecuali pada bagian kapalanna (kepala sarung). Awalnya motif seperti ini hanya digunakan oleh gadis dan pria yang menandakan mereka masih perawan dan lajang. tapi seiring dengan perkembangan jaman, kebiasaan ini sudah mulai bergeser, sehingga siapa saja sekarang bisa menggunakannya.
Moppang (telungkup)
Dari sekian banyak motif yang ada, motif inilah yang paling susah di jumpai. Sarung dengan motif ini memang mempunyai kegunaan khusus, yaitu proses “Siri” atau persenggamaan dalam sebuah sarung. Adat Bugis mengajarkan, proses persetubuhan hanya boleh dilakukan dalam sebuah sarung, dimana suami dan istri, bersama-sama masuk dalam sebuah sarung. Karena kegunaanya itu, bentuknya pun lebih besar dan lebar dari sarung lainnya, dan karena kegunaannya itulah sehingga sarung dengan motif ini biasanya di simpan atau dipakai di tempat yang agak tersembunyi.
Motif Tettong atau Makkulawu
Dan masih banyak jenis motif lainnya  yang di buat sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya.
*            SENI RUPA TERAPAN DARI SULAWESI UTARA
1.      Rumah Adat
Rumah Pewaris

Nama lain dari Walewangko adalah Rumah Pewaris. Rumah adat yang satu ini memiliki tampilan fisik yang apik. Ia secara umum digolongkan sebagai rumah panggung. Tiang penopangnya dibuat dari kayu yang kokoh. Dua di antara tiang penyanggah rumah ini, konon kabarnya, tak boleh disambung dengan apapun. Bagian kolong rumah pewaris ini lazim dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan hasil panen atau godong.

Seperti rumah adat lainnya, rumah adat Sulawesi Utara ini dibagi juga ke dalam beberapa bagian utama antara lain:
  1. Bagian depan yang dikenal juga dengan istilah lesar. Bagian ini tidak dilengkapi dengan didnding sehingga mirip dengan beranda. Lesar ini biasanya digunakan sebagai tempat para tetau adat juga kepala suku yang hendak memberikan maklumat kepada rakyat.
  2. Bagian selanjutnya adalah Sekey atau serambi bagian depan. Berbeda dengan Lesar, si Sekey ini dilengkapi dengan dinding dan letaknya persis setelah pintu masuk. Ruangan ini sendiri difungsikan sebagai tempat untuk menerima tetamu serta ruang untuk menyelenggarakan upacara adat dan jejamuan untuk undangan.
  3. Bagian selanjutnya disebut dengan nama Pores. Ia merupakan tempat untuk menerima tamu yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik rumah. Terkadang ruangan ini juga digunakan sebagai tempat untuk menjamu tamu wanita dan juga tempat anggota keluarga melakukan aktifitas sehari-harinya. Pores ini umumnya bersambung langsung dengan dapur, tempat tidur dan juga makan.
Jika kita cermati, keunikan rumah pewaris ini terletak dari arsitektur depan rumah. Perhatikan saja susunan tangga yang berjumlah dua dan terletak di bagian kiri dan kanan rumah. Konon kabarnya, dua buah tangga ini berkaitan erat dengan kepercayaan suku Minahasa dalam mengusir roh jahat. Apabila roh tersebut naik melalui tangga yang satu maka serta merta ia akan turun lagi melalui tangga lainnya.

Rumah adat Bolaang Mangondow
Selain rumah pewaris atau Walewangko, dikenal juga rumah adat Sulawesi Utara lainnya yakni Bolaang Mangondow. Rumah yang satu ini memiliki atap yang melintang dengan bubungan yang sedikit curam. Bagian tangganya ada di depan rumah dengan serambi tanpa dinding. Adapun ruang dalam terdiri atas ruang induk dan ruang tidur. Ruang induk ini terdiri atas ruang depa, tempat makan juga tempat tidur serta dapur yang ada di bagian belakang rumah.

2. Lainnya
a.       Alat-alat rumah tangga: masih sering dijumpai di desa-desa, antara lain nihu (penampi beras/padi), loto (bakul), poroco (jenis bakul), rueng (belanga), rumping (belanga goreng), ramporan (dodika/tempat memasak), tampayang (tempayan), mauseu/nuuseu/naaweyen/sincom (tempat nira dari bambu), salangka (peti tempat menyimpan barang berharga), tepe (tikar), patekelan/panteran/koi (tempat tidur), piso (pisau),dan lisung (lesung).
b.      Alat-alat pertanian: beberapa alat yang selalu dipakai penduduk dalam pertanian seperti, pajeko (bajak), sisir, pacol (pacul), sekop (tembilang), peda (parang), sambel (sabel), dan pati/tamako (kapak).
c.       Alat-alat perburuan: alat-alat yang dahulu sering digunakan dalam perburuan, antara lain tumbak (tombak), sumpit (senjata untuk burung saja), wetes/dodeso (jerat), sassambet (semacam jerat), dan sinapang (senapan).
d.      Alat-alat perikanan: alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Minahasa yang berprofesi sebagai nelayan, yakni perahu sampan, perahu giob (lebih besar dari sampan), pelang (lebih besar dari giob), soma (pukat besar), pukat, hohati (kail), nonae (umpan), sosoroka (semacam tombak yang khusus dipergunakan di danau), rompong (rumah di atas air yang telah dipasang dengan jala), sesambe (berbentuk seperti layar kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil), dan sero babu yang telah dianyam untuk membungkus ikan.
e.       Alat-alat peternakan: alat-alat yang digunakan dalam beternak. Alat-alat ini tidak terlalu banyak terdapat di Minahasa dikarenakan peternakan merupakan pekerjaan sambilan saja. Alat-alat tersebut antara lain: lontang tempat makanan babi, roreongan atau sangkar ayam.
f.       Alat-alat kerajinan: alat-alat yang digunakan dalam kerajinan masyarakat. Alat-alat ini merupakan campuran dari alat-alat asli buatan orang Minahasa dan alat-alat yang datang dari luar (yang berbahan logam). Beberapa alat buatan penduduk antara lain, kekendong (alat pemintal tali yang terbuat dari bambu atau kayu), jarong katu (penjahit atap yang juga dibuat dari bambu atau kayu), gelondong atau jarong benang bambu, martelu (martil yang dibuat dari kayu), sarong peda (sarung parang yang terbuat dari kayu, bambu, dan pelepah pinang).
g.      Alat-alat transportasi: alat-alat perhubungan yang digunakan oleh masyarakat Minahasa, antara lain roda sapi, bendi, sampan atau perahu (ada beberapa jenis), dan rakit.
h.      Alat-alat peperangan, yakni alat-alat yang dipakai oleh masyarakat Minahasa dahulu dalam berperang, antara lain kelung (tameng), santi (pedang), kiris (keris), tumbak, pemukul, tamor (tambur), tettengkoren (tubuh dari bambu), pontuang (alat tiup dari kulit kerang), kolintang (dibuat dari perunggu yang sama dengan alat musik Gamelan Jawa), dan gong.
i.        Alat-alat untuk menyimpan, antara lain godong (gudang di bagian bawah rumah untuk menyimpan hasil-hasil produksi), cupa (volumenya hampir tiga liter, terbuat dari bambu), gantang (volumenya 27 liter, terbuat dari kayu), walosong (tempat menyimpan makanan, terbuat dari bambu), dan para-para (sejenis meja dari bambu tempat menaruh alat-alat dapur).

















3. PAKAIAN ADAT



Berbicara adat dan budaya Sulawesi Utara, kita tidak mungkin bisa dengan membicarakan satu suku sebagai perwakilan dari empat suku penduduk asli Sulawesi Utara. Keempat suku penduduk asli tersebut adalah; Suku bangsa Minahasa, Gorontalo, Sangir Talaud, dan Mongondow.  Ke empat suku bangsa ini memiliki adat istiadat tersendiri, meski dalam beberapa hal terdapat kesamaannya. Begitu pun ketika kita membicarakan pakaian adat. Tulisan ini akan mencoba memaparkan pakaian adat dari ke empat suku bangsa tersebut.

Sistematika tulisan ini, baiknya kita kategorikan pakaian adat dan perhiasan menurut fungsi dan kegunaannya saja, yakni; pakaian sehari-hari, pakaian upacara, dan pakaian upacara perkawinan. Agar kita mudah melihat ragam pembeda yang menjadi khas pada masing-masing daerah dan menemukan kesamaann di antara kekhasan tersebut. Karena jika kita membahas satu persatu dari keempat suku bangsa terebut, artikel ini tidak mungkin mampu menampung kekayaan makna yang terkandung dalam pakaian adat masyarakat Sulawesi Utara secara menyeluruh. Apalagi dengan hitungan populasi (BPS, 2010) jumlah penduduk 2.265.937 jiwa, dengan kepadatan 147,5/km², dan persentase suku bangsa asli Minahasa (30%), Sangir (19,8%), Mongondow (11,3%), Gorontalo (7,4%), dan keturunan Tionghoa (3%), kita akan benar-benar butuh ratusan halaman dan obserfasi lapangan.

Baiklah langsung saja kita bicara soal pakaian sehari-hari dari keempat suku bangsa penduduk asli Sulawesi Utara. Dalam masyarakat Gorontalo, pakaian sehari-hari mereka berbahan mentah dari kapas atau biasa disebut molinggolo dipintal menjadi benang, dan ditenun alias mohewo. Polapakaian perempuan berbentuk kebaya dan tidak bermotif dan laki-laki kemeja lengan pendek. Sedangkan kain sarung dipakai oleh keduanya dan bermotif.

Pakaian sehari-hari masyarakat Bolaang Mangondow pada jaman dulu dibuat dari kulit kayu dan serta nenas yang direndam air beberapa hari ini kemudian dipukul-pukul dan seratnya dibuka. Serat itu diebut lanut yang kemudian ditenun dan menjadi lembaran kain. Tapi hari ini kain yang terbuat dari serat lanut sudah tidak ditemukan lagi, karena masyarakat Bolaang Mangondow telah menggunakan pakaian berbahan katun (kapas) sebagai pakaian sehari-hari mereka.

Seperti halnya masyarakat Bolaang Mangondow, suku bangsa Minahasa pada jaman dahulu telah menguasai pengetahuan dan keterampilan membuat kain dengan memanfaatkan kulit kayu dan dari sisanya yang bisa disebut manilahenep. Akan tetapi sekarang sudah tidak ditemukan lagi pakaian dari hasil kerajinan tangan tersebut. Hanya ada sejenis pakaian laki-laki yang bernama bajang di beberapa tempat. Namun pakai adat sehari-hari itu telah menggunakn kain hasil produksi pabrik yang bisa dibeli di toko-toko kain.

Semenetara pakaian sehari-hari tradisional masyarakat Sangihe dan Talaud, yakni pakaian yang terbuat dari kain kofo dan dapat dikatakan kini sudah tidak ada lagi.

Pakaian upacara masyarakat Gorontalo berfungsi untuk melihat status sesorang dalam upacara adat. Para pemangku adat atau bate-bate mengenakan sandang dengan pola dan motif yang berwarna; berbentuk kemeja kurung, celana pendek sebetis kaki (batik) yang biasa disebut talola bate. Sementara Jubah putih atau sandaria dipakai oleh pemimpin agama. Dan jas hitam, celana hitam adalah pakaian pejabat keamaan. Apabila kepala-kepala desa memakai kemeja batik bentuk baju kurung, celana putih pakai sarung dan ikan kepala alias payungu, menandakan bahwa mereka siap menjalankan perintah (mahiya pada waumatihimanga motubuhe tahilio lo ito Eya)

Dalam upacara adat, suku bangsa Bolaang Mangondow memakai pakaian adat yang terbuat dari bahan mentah kain katun dan tetoron. Untuk pakaian laki-laki bisanya disebut baniang. Sementara untuk perempuan disebut salu, untuk dibuat jadi kebaya, sarung, dan selendang.  Dalam upacara adat, laki-laki memakai destar semacam kain atau atau lenso yang diikat di kepala. Juga pomerus atau kain pelekat yang diikat pada pinggang. Sementara wanita memakai baju salu dengan pelengkap kain pelekat senket. Pada bagian dada dihiasi emas yang disebut hamunse.

Di Minahasa, pakaian upacara bagi laki-laki adalah jas (sepasang), dan atau cukup dengan memakai kemeja dengan pelengkap dasi. Bagi kaum perempuan pakaian mereka tidak lain berupa sarung kebaya atau yapon.

Bagi masyarakat Sangihe Talaud, seperangkat pakaian upacara yang biasa dikenakan terdiri dari baju panjang, ikat pinggang dan ikat kepala, dengan warna-warna dominan merah, hitam dan biru. Bentuk model pakaian tersebut hampir tidak terbedakan antara untuk laki-laki dan pempuan. Bentuknya menyerupai baju alian juhan  yang disebut “laku tepu”, pembeda diantara pakai laki-laki dan perempuan hanya panjangnya, bagi laki-laki hanya samapai pertengahan betis.

Mari kita kembali pada masyarakat Gorontalo. Dalam upacara perkawinan, suku bangsa Gorontalo memiliki pakaian adat uapacara perkawinan yang dinamakan urasipungu yang terdiri dari; kebaya pengantin perempuan terbuat dari kain saten dan diberi hiasan perak sepuhan. Sementara pengantin laki-laki mengenakan pakaian semacam kemeja kurung dari bahan yang sama dengan pengantin perempuan yang disebut kimunu. Kedua mempelai juga memakai kain sarung yang terbuat dari satin. Selain itu pelengkap berikutnya dalah Paluala yang berfungsi sebagai penutup kepala pengantin wanita yang terbuat dari kain satin dengan hiasan sunting atau biliu  yang terbuat dari perak. Hiasan lainnya adalah kecubu,  kain beludru dengan hiasan perak yang digantungkan pada leher pengantin wanita.

Dalam upacara perkawinan suku Bolaang Mangondow, pengantin wanita memakai sunting; semacam hiasan sanggul yang bahannya terdiri dari emas. Di dahi pengantin memakai hiasan yang disebut logis  yang terbuat dari benang hitam.

Kita langsung saja pada pakaian adat Sangihe Talaud yang secara umum, pakaian upacara perkawinan mereka hampir sama dengan upacar-upacara adat lainnya seperti perayaan hari raya “Mohobing Datu”, penasbihan tuknag besi, hari-hari istimewa dan para penari.

Awalnya, Propinsi Sulawesi Utara adalah empat wilayah administrasi yang terbagi berdasarkan empat wilayah suku bangsa yangtelah kita urai di atas. Namunkekinian, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, Gorontalo dibentuk Propinsi sebagai pemekaran dari Propinsi Sulawesi Utara melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Maka wilayah Propinsi Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow.

Pada Tahun 2003 Propinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan 1 Kota lagi dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon serta Kabupaten Kepulauan Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi Kabupaten/Kota yakni Kab. Minahasa Tenggara, Kab. Bolmong Utara, Kab. Sitaro dan Kota Kotamobagu. Namun sejatinya, suku bangsa asli masyarakat Sulawesi Selatan adalah empat  suku bangsa di atas yang budaya dan adat istiadatnya patut kita perhatikan kelestariannya sebelum benar-benar dimusiumkan.
4.      Kolintang
Kolintang adalah sebuah alat musik tradisional yang terkenal di daerah Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Bahan untuk membuat kolintang ini adalah kayu. Ada yang dibuat dari bahan kayu bernama kayu bandaran, ata kayu wenang, dan lain sebagainya. Umumnya kayu yang dibuat untuk membuat Kolintang ini adalah kayu-kayu ringan, namun memiliki serat kayu yang padat. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul. Bahkan Kolintang ini terkenal dapat mengeluarkan bunyi yang khas karena bisa digunakan untuk mengeluarkan bunyi nada rendah maupun nada tinggi.

5.      Pakaian Sangihe

*             
*             
*             
*             
*             
*             
*             
*             
*             
*             
*             
*             
*             
*            SENI RUPA TERAPAN DARI SULAWESI TENGAH
·               Di Sulawesi Tengah, setiap etnis memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal dengan nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh remaja putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya. Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka Pajana.
·               Pakaian adat etnis Mori terdiri pakaian adat untuk perempuan  yaitublus lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu Sementara itu, untuk pakaian adat yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu.
·               pakaian adata etnis Toli-Toli di Kabupaten Toli-Toli Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas.Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan panjang dengan leher tegak yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning.
·               pakaian adat etnis Saluan di Kab. Luwuk. Perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune. Para kaum pria atnis saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Pakean Nu’moane, celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Koja, penutup kepala/topi (Sungkup Nu’ubak), sarung pelengkap celana panjang (Lipa).



1. PAKAIAN ADAT

Pakaian tradisional merupakan bentuk fisik atau artefak budaya yang dimiliki suatu wilayah. Pakain budaya dapat memperlihatkan keragaman dan kekayaan negeri ini. Pakaian daerah juga dapat memperkokoh jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memegang teguh semboyan “Bhineka Tungga Ika”.

Apabila di jawa terkenal dengan kebayanya, lantas di nias terkenal dengan pakaian baru oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan,. Maka di Sulawesi Tengah kita akan banyak menemukan berbagai pakaian adat.
Di Sulawesi Tengah, setiap etnis memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal dengan nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh remaja putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya.

Baju Nggembe berbentuk segi empat, berkerah bulat berlengan selebar kain, panjang blus sampai pinggang dan berbentuk longgar. Baju Nggembe ini dilengkapi dengan penutup dada atau sampo dada dan memakai payet sebagai pemanis busana. Sarung tenun Donggala menjadi aksesoris bagian bawah pakaian ini. Donggala yang berbenang emas dalam bahasa Kaili disebut dengan Buya Sabe Kumbaja.
Cara pemakaian pakai adat ini mengalami perkembangan, dalam perkembangannya pemakaian sarung Donggala dirubah dengan mengikat sarung dan kemudian disamping kiri atau kanan dilipat untuk memperindah serta memberi kebebasan bergerak bagi si pemakai.

Aksesoris yang digunakan untuk pakaian ini ialah anting-anting panjang atau Dali Taroe, Kalung beruntai atau Gemo, Gelang panjang atau Ponto Ndate, Pending atau Pende.
Pende atau pending merupakan ikat pinggang yang digunakan pada saat seseorang (perempuan) memainkan tarian khas Sulawesi Tengah. Bahan emas dan perak menjadi bahan untuk membuat ikat pinggang ini dengan cara dicetak. Pada bagian dalam pende dibuat sebuah tempat untuk memasukkan tali pengikat kain yang berwarna kuning dan diberi hiasan. Namun dalam perkembangannya, hari tidak lagi digunakan ikat pinggang seperti itu. Ikat pinggang biasa lebih banyak digunakan hari ini untuk dikenakan bersama pakaian ini.

Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka Pajana. Pakaian ini terdiri dari dua bagian, yaitu Baju Koje dan Puruka Pajama. Baju Koje atau baju ceki adalah kemeja yang bagian keragnya tegak dan pas dileher, berlengan panjang, panjang kemeja sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana. Puruka Pajana atau celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnya harus lebar agar mudah untuk duduk dan berjalan. Sarung dipinggang, keris, serta sebagian kepala menggunakan destar atau siga menjadi aksesoris pakaian ini.

Pakaian adat berikutnya ialah pakaian adat etnis Mori di Kab. Morowali. Pakaian adat etnis Mori terdiri dari pakaian adat untuk perempuan dan laki-laki.

Kaum hawa biasa mengenakan blus lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu, berwarna merah dengan hiasan dan motif rantai berwama kuning. Untuk bawahannya merka mengenakan rok panjang berwama merah atau hawu juga bermotif rantai berwama kuning. Mahkota atau pasapu digunakan untuk bagian kepala.

Adapun aksesoris yang digunakan pada pakaian ini ialah Konde atau Pewutu Busoki, Tusuk Konde atau Lansonggilo, Anting-anting atau Tole-tole, Kalung atau Enu-enu, Gelang Tangan atau Mala, Ban Pinggang atau Pebo’o, Cincin atau Sinsi.

Sementara itu, untuk pakaian adat yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu. Kemeja ini berwarna merah dengan hiasan motif rantai berwama kuning sama seperti pakaian perempuan. Untuk bawahan kaum laki-laki menggunakan celana panjang berwama merah atau Saluara. Bate atau destar digunakan dibagian kepala. Ikat pinggang menjadi perlengkapan untuk pakaian adat pria.

Pakaian adat etnis selanjutnya ialah pakaian adata etnis Toli-Toli di Kabupaten Toli-Toli. Seperti adat lainnya, pakaian adat etnis Toli-Toli terdiri dari pakaian adat perempuan dan laki-laki.

Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas. Bawahan yang dikenakana, yaitu celana panjang atau Puyuka panjang dihiasi pita emas dan manik-manik. Sarung juga digunakan namun sebatas lutut atau Lipa. Kemudian dikenakan pula selendang atau Silempang dan ban pinggang berwarna kuning.

Aksesoris yang digunakan dalam pakaan ini ialah anting-anting panjang, gelang panjang, kalung panjang warna kuning, dan kembang goyang.

Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan panjang dengan leher tegak yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning. Utuk bawahan celana panjang atau Puyuka panjang. Digunakan pula sarung sebatas lutut dan tutup kepala atau Songgo.

Berikutnya ialah pakaian Adat Etnis Saluan di Kab. Luwuk. Pada pakaian adat etnis ini, perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune. Rok panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Rok Mahantan menghiasi bawahan pakaian ini. Digunakan pula perhiasan berbentuk bintang.
Adapun aksesoris yang digunakan ialah gelang atau potto, kalung atau kalong, sunting, anting atau sunting, jaling, selempang atau salandoeng.

Para kaum pria atnis saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Pakean Nu’moane, celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Koja, penutup kepala/topi (Sungkup Nu’ubak), sarung pelengkap celana panjang (Lipa).

Ada pun bahan yang digunakan pakaian sehari-hari ialah bahan yang teridiri dari kulit kayu Nuru (pohon beringin).  Pembuatan bahan pakaian ini meliputi:

    Menguliti kayu Nunu sebagai sumber bahan.
    Merebus kulit kayu tersebut sampai masak lalu di bungkus selama tiga hari.
    Di cuci dengan air untuk membersihkan getahnya dan biasanya menggunakan pula abu dapur.
    Kulit kayu tersebut di pukul dengan alat yang disebut pola (bahannya dari batang enau) sampai mengembang dan melebar. Kemudian dipukul dengan alat yang bernama tinahi yang di buat dari batu yang agak kasar. Disini dapat disambung bahan yang satu dengan bahan yang lainnya agar menjadi lebar dan panjang, di susul dengan alat ike yang halus sampai bahan tersebut sudah menjadi sehelai kain yang panjangnya tiga sampai lima meter.
    Setelah menjadi kain kemudian di gantung untuk di anginkan (nillave)
    Sesudah kering dilipat untuk diratakan dengan pola tidak bergigi (niparondo) yaitu semacam setrika.

Pakaian upacara menggunakan kulit kayu Ivo sebagai bahannya. Kulit kayu Ivo merupakan kulit kayu yang lebih halus dan bermutu, dan lebih baik daripada yang terbuat dari kulit kayu Nunu.
               Apabila di jawa terkenal dengan kebayanya. Di sulawesi tengah terkenal dengan pakaian adat etnis kaili kota palu. pakaian adat wanita yang disebut baju nggembe, biasanya dipakai upacara adatnya. Dan pakaian adat pria benama baju koje/puruka pajana.

2.      Souraja / Rumah besar (berfungsi sebagai tempat tinggal/rumah adat)  & Rumah Tambi
RUMAH SOURAJA                                                                           RUMAH TAMBI

              
               Rumah tradisional masyarakat Sulawesi Tengah yang diwariskan oleh keluarga bangsawan suku-bangsa Kaili
Rumah ini merupakan rumah kediaman tidak resmi bagi manggan atau raja beserta keluarganya, terutama yang tinggal di daerah pantai dan kota. Rumah sejenis ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Banua Mbaso yang dibangun oleh Raja Palu yang usianya ratusan tahun tersebut, hingga saat ini masih terawat dengan baik. Rumah tinggal penduduk Sulawesi Tengah disebut 'tambi', yang merupakan tempat tinggal untuk segala lapisan masyarakat. Yang membedakan rumah sebagai tempat tinggal kalangan bangawan dengan rakyat biasa terletak pada bubungan rumah para bangsawan dipasang simbol kepala kerbau, sedangkan rumah rakyat biasa tidak dipasang simbol tersebut. Rumah tambi merupakan rumah di atas tiang yang terbuat dari kayu bonati. Bentuk rumah ini segi empat dan bentuk atapnya piramida yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Ukurannya tergantung dari kemampuan masing-masing pemiliknya. Pada bangunan-bangunan tradisional dihias dengan berbagai bentuk ragam hias yang menggunakan motif-motif tertentu, terutama motif fauna dan flora. Ragam hias dengan motif fauna terdiri dari 'pebaula' (berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan 'bati' (ukiran kepala kerbau, ayam, atau babi). Ragam hias ini tidak diukir seperti benda-benda ukiran biasa, tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi. Ukiran kerbau merupakan simbol kekayaan, kesuburan dan kesejahteraan pemilik rumah. Sedangkan ragam hias dengan motif flora (pompeninie) merupakan sobekan-sobekan kain yang dibuat dari kulit kayu. Kain yang berwarna-warni tersebut diikat dengan rotan, sehingga terangkai menjadi suatu bentuk ragam hias, yang maksudnya agar penghuni rumah terhindar dari segala gangguan roh-roh jahat. Umumnya bentuk bunga yang sering dibuat sebagai ragam hias rumah. Warna ragam hias ini bermacam-macam, biasanya berwarna merah, putih, kuning, hitam, biru atau hijau.
Anjungan Sulawesi Tengah menyajikan empat buah bangunan tradisional, yakni souraja, rumah adat bangsawan suku Kaili; rumah adat suku To Lobo (tambi) dari Lone Selatan, lumbung padi (gambiri), dan sebuah bangunan kantor merangkap gerai seni.

            Rumah
souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang segiempat dari kayu; beratap bentuk piramide segitiga: bagian depan dan belakang ditutup dengan papan berukir (panapiri) serta pada ujung bubungan bagian depan dan belakang berhias mahkota berukir (bangko-bangko). Bangunan terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang depan (lonta karawana) untuk menerima tamu dan untuk tidur tamu yang menginap; ruang tengah (lonta tatangana) untuk tamu keluarga; serta ruang belakang (lonta rorana), untuk ruang makan, meskipun kadang-kadang ruang makan berada di lonta tatangana. Tempat tidur perempuan dan anak gadis berada di pojok belakang lonta rorana. Dapur (avu), sumur, dan jamban berada di belakang sebagai bangunan tambahan yang dihubungkan melalui hambate, yang berarti jembatan, ke rumah induk. Rumah souraja di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan sebagai tempat pameran dan peragaan berbagai aspek budaya: lonta tatangana sebagai ruang pamer berbagai busana daerah serta pasangan pengantin Kaili lengkap dengan pengiringnya; lontana rorana dipergunakan sebgai tempat peragaan ruang tidur keluarga; dan avu dimanfaatkan sebagai ruang peragaan pembuatan kain sarung Donggala.

            Rumah
tambi berbentuk segi empat dengan atap menyerupai piramida memanjang dan curam yang sekaligus sebagai dinding rumah. Badan rumah dan atap ditopang tiga atau lima susun balok kayu bulat sebagai gelagar dan diletakkan di atas tiang-tiang batu cadas lonjong yang ditanam di dalam tanah. Hanya ada satu pintu, terletak di samping kiri bagian depan rumah. Ruangan dalam rumah (lobana) tanpa kamar. Di tengah lobana terdapat dapur (rapu), di atasnya diletakkan para-para yang ditopang empat buah tiang. Selain untuk tempat memasak, rapu juga menjadi sumber cahaya dan pemanas di waktu malam atau musim dingin. Ruangan kosong di sekitar dapur dipergunakan untuk ruang makan, ruang tidur, dan untuk menerima tamu keluarga. Daun pintu dihias ukiran kepala kerbau, sedang di tiang-tiang ke bubungan tergantung tanduk kerbau berbagai ukuran yang disusun berurut ke atas mulai yang paling besar dan panjang. Tambi di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan untuk peragaan pembuatan kain dan kulit kayu haili atau kantevu yang sampai sekarang masih dipakai oleh suku Kulawi. Di sebelah utara tambi dibangun sebuah duhungan atau lobo yang aslinya hingga sekarang masih dapat di temui di daerah Plana, Lone Selatan, suatu rumah panggung empat persegi panjang tanpa kamar dan berdinding separuh terbuka dengan lantai tiga tingkat. Duhungan atau lobo digunakan sebagai ruang upacara adat serta panggung seni pada hari-hari libur atau hari besar. Pergelaran seni berupa tarian tradisional Sulawesi Tengah, seperti tari dero, yakni jenis tari pengantar yang memberi kesempatan kepada para penonton untuk ikut menari bersama-sama.

     Dua buah patung tiruan Tadulako dan Langkae Bulava merupakan peninggalan prasejarah yang banyak berserakan di daerah Los Selatan. Tadulako menggambarkan seorang ayah yang tampan dan gagah perkasa, sedangkan Langke Bulova melambangkan seorang ibu yang cantik. Anjungan Sulawesi Tengah pernah dikunjungi tamu-tamu negara, antara lain Istri Perdana Menteri Luxemburg, Ny.Gaston Thorn, tahun 1978 dan 1984.

A. Selayang Pandang
          Banua Mbaso atau lazim dikenal dengan Sou Raja berarti rumah besar atau rumah raja. Banua Mbaso ini merupakan rumah tradisional masyarakat Sulawesi Tengah yang diwariskan oleh keluarga bangsawan suku-bangsa Kaili. Rumah jenis ini pertama kali dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Rumah ini merupakan rumah kediaman tidak resmi bagi manggan atau raja beserta keluarganya, terutama yang tinggal di daerah pantai dan kota. Rumah sejenis ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Banua Mbaso yang dibangun oleh Raja Palu yang usianya ratusan tahun tersebut, hingga saat ini masih terawat dengan baik.
Secara keseluruhan, bangunan Banua Mbaso terbagi atas tiga ruangan, yaitu:
·               Lonta karawana (ruang depan). Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu. Sebelum ada meja dan kursi, di ruangan ini dibentangkan onysa (tikar). Ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat tidur para tamu yang menginap.
·               Lonta tata ugana (ruang tengah). Ruangan ini khusus untuk menerima tamu yang masih ada hubungan keluarga.
·               Lonta rorana (ruang belakang). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang makan. Terkadang ruang makan juga berada di lonta tata ugana. Di pojok belakang ruangan  ini khusus untuk kamar tidur anak-anak gadis agar mudah diawasi oleh orang tua.
         Untuk urang avu (ruang dapur), sumur dan jamban, dibuatkan bangunan tambahan atau ruangan lain di bagian belakang yang terpisah dengan bangunan utama. Untuk menghubungkan bangunan induk dengan ruang dapur tersebut dibuatkan jembatan beratap yang disebut dengan hambate atau dalam bahasa Bugis disebut jongke. Di jembatan beratap ini, biasanya dibuatkan pekuntu, yakni ruang terbuka untuk berangin-angin. Di kolong bangunan utama, biasanya dijadikan sebagai ruang kerja untuk pertukangan atau tempat beristirahat di siang hari. Sementara loteng rumah dipergunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka dan lain-lain.
B. Keistimewaan
           Bangunan Banua Mbaso memiliki arsitektur yang cukup unik dan artistik. Uniknya, rumah ini berbentuk panggung yang merupakan perpaduan antara arsitektur rumah adat (Bugis) di Sulawesi Selatan dan rumah adat di Kalimantan Selatan. Bangunan rumah ini ditopang oleh sejumlah tiang kayu balok persegi empat dari kayu-kayu pilihan yang berkualitas tinggi, seperti kayu ulin, bayan, atau sejenisnya, sehingga bangunan rumah ini dapat bertahan sampai ratusan tahun. Atap bangunan ini berbentuk piramida segitiga yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang disebut dengan panapiri. Menariknya lagi, pada ujung bubungan bagian depan dan belakang diletakkan mahkota berukir yang disebut dengan bangko-bangko.
                 Bangunan Banua Mbaso ini tampak lebih artistik, karena hampir semua bagian bangunan ini diberi hiasan berupa kaligrafi Arab dan ukiran dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan. Hiasan-hiasan tersebut terdapat pada jelusi-jelusi pintu atau jendela, dinding-dinding bangunan, loteng, ruang depan, pinggiran cucuran atap, papanini, dan bangko-bangko. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya.




3.      SENJATATRADISIONAL: PASATIMPO






Pasatimpo adalah sejenis keris yang bentuk hulunya bengkok ke bawah dan sarungnya diberi tali.
Senjata ini sering digunakan oleh masyarakat setempat dalam tari-tari penyembuh yang berfungsi sebagai pengusir roh-roh jahat. Kini, Pasa timpo lebih sering digunakan dalam tari-tari kepahlawanan. Fungsinya hanya untuk membesarkan jiwa penarinya. Karena keris tidak digerakan tetapi cukup diikatkan saja pada pinggangpenari sebagai hiasan.
4.      TENUN DONGGALA
Masyarakat Sulawesi Tengah biasanya menggunakan tenun donggala sebagai sarung ketika upacara adat. Uniknya, mereka tak hanya membebat satu helai kain melainkan dua buah. Walaupun panjangnya bisa mencapai 4 meter, tenun donggala yang asli hanya memiliki lebar 60 sentimeter karena keterbatasan lebar dari Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Inilah yang menyebabkan mereka memerlukan dua buah tenun untuk membuat sarung yang sempurna.









5.      SENI PATUNG
Dua patung suku terasing yang terbuat dari sabut kelapa, Palu, Sulawesi tengah.

*    SENI RUPATERAPAN DARI SULAWESI TENGGARA
1.               RUMAH ADAT LAIKAS
Berfungsi sebagai tempat tinggal











Elemen Budaya: Produk Arsitektur
Provinsi: Sulawesi Tenggara
Asal Daerah: Kendari
Laikas merupakan rumah adat yang terdiri dari tiga lantai, lantai pertama merupakan tempat kediaman raja, lantai kedua untuk tempat keluargadan ketiga untuk tempat sholat, pada kiri dan kanan lantai dua terdapat ruangan tempat menenun kain yang bernama bane.





2.               SENJATA TRADISIONAL : KERIS








3.               Istana Sultan Buton disebut juga Malige.







4.                PAKAIAN ADAT
Prianya memakai pakaian adat berupa tutup kepala (destar), Sedangkan wanitanya memakai baju kebaya).








                



*            SENI RUPA TERAPAN DARI GORONTALO
1.            Bandayo Po Boibe (berfungsi sebagai tempat tinggal/rumah adat
Rumah adat Bandayo Pamboide digunakan juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Dulu Rumah Bandayo Pomboide ini difungsikan sebagai tempat pagelaran budaya khas Gorontalo. Berbeda dengan Doluhapa, bagian dalam Bandayo Pomboide mempunyai banyak sekat sehingga memiliki bermacam ruangan yang fungsiya juga beragam.
   Jika diamati secara keseluruhan, disain arsitektur rumah adat ini (baik Doluhapa dan Bandayo Pomboide) banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam yang tumbuh dan kental di wilayah Gorontalo sejak dahulu.


2.            Bele li Mbui (berfungsi sebagai tempat tinggal/rumah adat)









3.             Senjatatradisional : wamilo
Senjata tradisional ini berbentuk seperti golok. Namun, bagian ujung hulunya sedikit melengkung ke bawah. Senjata tradisional lainnya adalah badik, Wamilo, Bitu'o (sejenis Keris), Sabele (sejenis Parang atau Lilang) dan Travalla.







4.            PAKAIN ADAT
Pakaian adat Gorontalo yang biasa dikenakan pada saat upacara pernikahan, upacara khitanan, upacara baiat (pembeatan wanita), upacara penyambutan tamu, maupun upacara adat lainnya. Pakaian adat pada pria berupa baju tertutup yang dipadankan dengan celana panjang. Pakaian ini dilengkapi penutup kepala dan kain sarung yang dililitkan di pinggang. Serta ada senjata tradisional wamilo diselipkan dililitan sarung tersebut.
Sedangkan pakaian adat pada wanita berupa baju berukuran panjang sejenis baju kurung. Dan anting berwarna emas. Biasanya, rambut wanita disanggul dengan bentuk sederhana dan dihiasi kembang emas.












5.            RUMAH ADAT
Dulohupa (berfungsi sebagai tempat tinggal/rumah adat)







Dolohupa merupakan rumah adat Gorontalo yang digunakan untuk tempat bermusyaarah. Pada masa-masa pemerintahan raja, Doluhapa digunakan untuk ruang pengadilan, tmpat untuk memvonis penghianat melalui 3 aturan yaitu:
  • Alur pertahanan (keamanan), dikenal sebagai Buwatulo Bala; 
  • Alur hukum agama islam, dikenal sebagai Buwatulo Syara; 
·         Alur Hukum adat, dikenal sebagai Buwatulo Adati. 
           Kini rumah adat Doluhapa digunakan oleh masyarakat Gorontalo difungsikan untuk tempat menjalankan upacara pernikahan dan juga upacara adat lain nya.
                                                                                                                               
6.             SENJATA TRADISIONAL :KERIS
7








7.  Sabele/Parang (berfungsi sebagai senjata)









8.             Alat musik : Polopalo









Alat musik ini terbuat dr bambu, berbentuk seperti garputala raksasa dan cara memainkannya yaitu dengan memukulkannya ke lutut. Pada perkembangannya, alat musik ini disempurnakan pada beberapa hal, salah satunya adalah kini Polopalo dibuatkan sebuah pemukul dari kayu yang dilapisi karet agar membantu dan mempermudah untuk memainkannya. Pengembangan ini memberi perubahan selain tidak memeberi rasa sakit pada bagian tubuh yang dipukul, juga membuat alat musik ini berbunyi lebih keras atau nyaring

                                                                   




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sulawesi  sebagai komunitas kutural memang mempunyai kebudayaannya sendiri yang ditampilkan lewat unsur-unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu, masing-masing unsur berbeda pada tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu terhadap unsur-unsur yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula bagi pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam pemahaman dan penularan kebudayaan.
Kalau boleh dikatakan, menangkap deskripsi budaya Sulawesi adalah upaya yang harus serius, kalau tidak ingin menjadi punah. Kepunahan suatu kebudayaan sama artinya dengan lenyapnya identitas. Hidup tanpa identitas berarti berpindah pada identitas lain dengan menyengsarakan identitas semula.



DAFTAR PUSTAKA
www.google.co.id