MAKALAH SENI RUPA TERAPAN
PULAU SULAWESI
(makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas dari mata pelajaran seni budaya)
Disusun oleh :
Alfi Nur Hidayah
Alivian Irma Danti
Amalia Sri Maryuni
Lia Chusni Awaliah
Qomarotun Nurun Ni’mah
Kelas X-3 Tp.2014/2015
SMA A.WAHID HASYIM
Jl.Irian Jaya No 10 Tebuireng Jombang
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah- Nya sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan kerido’an-Nya Makalah dengan judul "SENI RUPA TERAPAN" ini dapat terselesaikan.
Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Joko
Pitono selaku guru Seni Budaya dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.
Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.
Penulis,
Tebuireng, 07 Maret 2015
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
BAB I : PENDAHULUAN .………………………………………………
A. Latar Belakang …………………………………………
B. Tujuan …………………………………………………
BAB II : ISI………………. ………………………………………………
A. Seni Rupa Terapan …………………………………
B. SULAWESI…………………………………………
C. Seni
Terapan Nusantara di
Pulau Sulawesi …………
BAB III : PENUTUP ……………………………………
KESIMPULAN………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap
terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern
serta pengaruh agama. Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah,
maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan
kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat
seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Meski demikian, tradisi,
adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya
ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan.
B.
Tujuan
Tujuan dalam
pembuatan makalah ini yaitu dalam pemenuhan tugas yang telah diberikan oleh
guru pengajar. Penyusunan makalah ini merupakan
sebuah bentuk pengaplikasian dari bagian proses pembelajaran yang cukup
kompleks tentang seni nusantara. Untuk memperjelas pengaplikasian tersebut,
maka dapat di rumuskan sebuah maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
a. Mengetahui pengertian Seni Rupa Terapan Nusantara
b. Mengidentifikasi Seni Rupa Terapan dari wilayah Sulawesi
BAB II
ISI
A.
Seni Rupa Terapan
Seni rupa terapan adalah karya seni
rupa yang dirancang untuk tujuan fungsional, yaitu untuk memenuhi kebutuhan
fisik dan psikologis (kejiwaan) manusia. Seni rupa terapan memiliki fungsi guna
atau pakai. Artinya selain sebagai benda yang bernilai seni (artistik) juga
sebagai benda yang indah (estetis) dan dapat digunakan untuk kepentingan
manusia. Contoh benda seni terapan antara lain benda-benda gerabah dari tanah
liat, benda-benda anyaman, kerajinan keramik, peralatan rumah tangga, kerajinan
furniture. Karya seni
rupa terapan daerah setempat diciptakan untuk tujuan melestarikan nilai-nilai
tradisi dan adat dalam proses serta teknik berkarya seni rupa daerah setempat.
Bentuk, model, teknik, dan media memiliki keunikan/karakteristik tersendiri,
sebagai kekayaan seni budaya.
Karya seni rupa terapan daerah setempat yaitu karya
seni rupa yang memiliki fungsi pakai/guna, dibuat dengan teknik (cara) dan
media yang ada di daerah setempat, sebagai aset atau kekayaan budaya nasional.
B.
SULAWESI
Pemerintahan di Sulawesi dibagi
menjadi enam provinsi berdasarkan urutan pembentukannya yaitu provinsi :
1)
Sulawesi
Selatan
2)
Sulawesi
Utara
3)
Sulawesi
Tengah
4)
Sulawesi
Tenggara
5)
Gorontalo
6)
Sulawesi
Barat
C. Seni Rupa Terapan Nusantara : SULAWESI
Seni Terapan Dari Sulawesi
Barat
1.
KERIS
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian
barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya
karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya
berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan
logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan
dengan keris adalah badik. Senjata tikam
lain asli Nusantara adalah kerambit
Media(alat
dan bahan) pembuatannya adalah bahan utamanya baja strip paduan rendah 20 kg, baja perkakas 1 kg, arang kayu jati
500 kg; bahan tambah nikel 100 gram; bahan finishing yaitu menyepuh (garam 2
kg, belerang 3 kg, air 1 liter), mewarangi (jeruk nipis 1 liter, bubuk warangan
30 gram), dan alat untuk membuat keris terdiri dari alat untuk menempa (paron,
palu tempa 1 kg , palu godam, tang tempa, air pendingin), alat untuk memotong
(pahat, gergaji), alat untuk membentuk keris (kikir, gerinda tangan, bor
tangan, ragum , pahat ukir), alat untuk mewarangi (batu asah), (3) Proses
pembuatan keris melalui beberapa tahap yaitu menyiapkan bahan, menyiapkan alat,
proses menempa (masuh, mencampurkan antara besi dengan nikel menjadi lapisan
pamor disebut sebagai saton , membentuk kodhokan, membuat gonjo), anggrabahi,
membuat ricikan, finishing.
2.
KAIN KHAS
Sarung tenun sutra Mandar memiliki warna–warna cerah
atau terang seperti merah, kuning dengan desain garis geometris yang lebar. Meskipun
memiliki pola sederhana namun benang perak dan emas yang menjadi bahan dasar
kain sutra ini menjadikan Sarung tenun sutra Mandar terlihat indah dan
istimewa. Dikenal sebagai salah satu produk sutra yang paling halus di
Nusantara, Sarung Tenun Sutra Mandar bukanlah kain yang dapat dikenakan untuk
sehari-hari. Seperti halnya kain Ulos milik suku Batak di Sumatera Utara yang
hanya digunakan pada acara tertentu saja. Sarung Tenun Sutra Mandar pun hanya
dikenakan pada acara-acara tertentu misalnya pernikahan, upacara keagamaan dan
kadang-kadang untuk shalat Jumat di masjid.
Umumnya, Saqbe Lipaq memiliki dua motif berbeda yaitu Sure’ dan
Bunga. Motif Sure’ berbentuk garis geometris sederhana yang merupakan
motif Saqbe Lipaq klasik. Sedangkan motif Bunga merupakan
perpanjangan dari motif Sure’ dengan penambahan berbagai dekorasi.
Secara tradisional, motif Sarung Tenun Sutra Mandar dirancang berdasarkan kasta
atau tingkatan derajat mereka yang memakainnya seperti keluarga kerajaan,
pejabat pemerintah, pedagang kelas atas dan lain-lain. Di antara beberapa motif
tradisional yang umum adalah: Salaka, Padzadza (Parara), Taqbu, Aroppoq,
Pandeng, Pangulu, Benggol, dan lainnya.
Hingga saat ini Lipaq Saqbe masih diproduksi dengan
metode konvensional sehingga untuk menghasilkan selembar Saqbe Lipaq dapat
memakan waktu 2 sampai 3 minggu, bahkan berbulan-bulan tergantung pada
kesulitan motifnya. Proses ini dimulai dari menguntai benang sutra dari
kepompong sutra melalui Ma'unnus (menarik benang dari kepompong) dan Ma'ttiqor
(Pemintalan benang). Akan tetapi, saat ini ada banyak benang sutra sudah
tersedia di pasaran. Selanjutnya, benang sutra akan menjalani proses pewarnaan.
Beberapa produsen Saqbe Lipaq masih menggunakan zat pewarna alami seperti daun
nila, kalanjo (kelapa bertunas), bakko (kulit Mangrove), dan lainnya. Proses
pewarnaan ini dikenal sebagai macingga.Proses selanjutnya disebut manggalerong proses dimana benang sutra yang sudah diwarnai
ditempatkan pada sepotong benda bulat (biasanya bambu) kemudian diputar untuk
membuat gulungan benang sutra. Setiap gulungan benang sutra (galenrong) hanya
terdiri dari satu warna saja. Gulungan benang sutra kemudian ditempatkan pada
alat yang disebut pamalingan dan siap untuk proses menenun. Setelah
mempersiapkan benang dalam proses yang disebut sumau dan mappatama, proses
menenun atau manette dapat dimulai. Proses menenun Saqbe Lipaq menggunakan
mesin tenun tradisional Mandar yang disebut parewa tandayang. Parewa tandayang
telah digunakan dari generasi ke generasi mulai dari nenek moyang masyarakat
Mandar. Selain dari keterampilan tenun sarung sutra, kemampuan memproduksi
parewa tandayang sendiri juga diwariskan dari generasi ke generasi.
3.
Rumah adat
Rumah adat
Mandar, yakni rumah panggung yang memiliki bentuk yang hampir sama dengan rumah
adat suku Bugis dan Makassar. Perbedaanya pada bagian teras (lego) lebih besar
dan atapnya seperti ember miring ke depan. Bentuk rumah panggung yang berdiri
diatas tiang-tiangnya dimaksudkan untuk menghindari banjir dan binatang buas.
Dan apabila semakin tinggi tingkat kolong rumah menandakan semakin tinggi pula
tingkat status sosial pemiliknya. Atap rumah umumnya terbuat dari sirap
kayu besi, bambu, daun nipah, rumbia, ijuk atau ilalang. Tangga terbuat dari
kayu (odeneng) atau bambu (sapana) dengan jumlah anak tangganya ganjil. Tingkat
dinding berbentuk segitiga yang bersusun sebagai atap juga menunjukan kedudukan
sosial pemilik rumah.
4.
Pakaian Tradisional
Di Sulawesi Barat
mempunyai keragaman baju tradisionalnya. Pakaian tradisional Sulawesi Barat
biasanya dikenakan dalam pertunjukan tari, acara pernikahan dll yang memiliki
keragaman dalam busananya.
Pakaian adat pada pria mengenakan jas yang tertutup dan berlengan panjang, dipadukan celana panjang sebagai pakaian bawahnya. Terdapat kain sarung yang dililitkan pada pinggangnya sampai kelutut. Sedangkan pakaian adat pada wanita Sulawesi Barat mengenakan baju Bodo dengan dihiasi kalung, gelang serta giwang. pada bagian kepala dikenakan sanggul dan beberapa hiasannya. Pakaian bawah dikenakan sarung yang dikenakan seperti rok.
Pakaian adat pada pria mengenakan jas yang tertutup dan berlengan panjang, dipadukan celana panjang sebagai pakaian bawahnya. Terdapat kain sarung yang dililitkan pada pinggangnya sampai kelutut. Sedangkan pakaian adat pada wanita Sulawesi Barat mengenakan baju Bodo dengan dihiasi kalung, gelang serta giwang. pada bagian kepala dikenakan sanggul dan beberapa hiasannya. Pakaian bawah dikenakan sarung yang dikenakan seperti rok.
Provinsi Sulawesi Barat memiliki keragaman tata busa atau baju tradisionalnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tari tradisional Sulawesi Barat yang memiliki keragaman dalam busananya.Misalnya, pada tari Bamba Manurung yang merupakan tarian adat Tradisional yang biasa dipertunjukkan pada saat acara pesta Adat Mamuju di hadapan para penghulu adat dan tokoh masyarakat Mamuju. Busana yang dipakai pada tari tersebut bernama baju Badu. Adapun perlengkapan atau aksesoris yang menghias pada baju ini ialah bunga beru-beru atau bunga melati dan kipas
Ada lagi tari Bulu Londong yang merupakan tarian tradisional yang dilakukan sebagai pengucapan syukur dalam acara Rambutuka. Tarian ini menggunakan baju adat mamasa. Baju adat mamasa terbuat dari bulu burung. Adapun aksesoris yang melengkapi baju adat ini ialah kepala manusia, sengo, terompet alam bambu, tombak atau pedang
Tarian yang lainnya ialah tari Ma’bundu yang merupakan tarian perang tradisional kreasi baru yang dipadukan dengan beberapa tarian Tradisional Kecamatan Kalumpang dan kecamatan Bonehau Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Busana yang dipakai pada tari ini ialah pakaian kebesaran BEI. Baju kebesaran BEI dihiasi dengan ukir-ukiran yang terbuat dari kerang kecil. Pakaian kebesaran BEI dihiasi dengan topi bertanduk dan berpalo-palo. Aksesori pada bagian tangan berupa potto ballusu (gelang-gelang ditangan). Para penari menggunakan tombak, gendang.
Selain baju adat yang biasa dikenakan dalam pertunjukan tari, Sulawesi Barat terkenal dengan tenu ikat tradisional sekomandi yang berasal dari Kalumpangan. Tenun ikat tradisional merupakan produk budaya yang telah berusia ratusan tahun dan terus dipelihara oleh masyarkat adatnya. Tenun Tradisional Sekomandi Kalumpang, terbuat dari kulit kayu dengan pewarna alami. Pewarna tersebut diambil dari salah satunya cabai. Untuk memberi warna, mula-mula kulit kayu ditumbuk kemudian diolah untuk pintal. Untuk membuat zat pewarna alami dari cabai, cabai di racik dan kemudian di campurkan dengan corak warna lainnya yang diinginkan. Biasanya tenun ini di dan didominasi dengan warna hitam, coklat, merah, dan kream. Warna dasar adalah hitam.
Keunikan kain tenun ini terdapat di pola, warna, dan struktur kain. Semuanya dikerjakan dengan tangan dan di tenun dengan alat tradisional. Dbutuhkan waktu berminggu-minggu hingga hitungan bulan untuk memperoleh tenunan kualitas terbaik yang harganya bisa mencapai sepuluh juta rupiah.
Tenun tradisional sekomandi telah dikenal di mancanegara.karena dipasarkan melalui Bali oleh para pembuat kain dari Kalumpang. Banyak juga turis yang langsung membeli dipusat pembuatannya. Tenun ini dapat digunakan untuk untuk pakaian, selendang, taplak, dan banyak lagi.
Pemerintah kabupaten Mamuju secara aktif telah melakukan upaya pelestarian. Pelestarian tersebut berupa pemeliharaan, pendokumentasian, dan mempublikasikan warisan budaya, agar asset parawisata tradisional tetap terjaga.
5.
TARI DAERAH
- Tari Bamba Manurung, ditujukan sewaktu acara pesta Adat Mamuju yang dihadiri oleh para penghulu adat beserta para tokok adat. Pakaian tari ini disebut baju Badu, dan di hiasi oleh bunga melati beserta kipas sebagai perlengkapan tarinya.
- Tari Bulu Londong, ditujukan pada acara Rambutuka sebagai rasa syukur penduduknya.Pakaian tari ini mengenakan baju adat Mamasa yang berbahan bulu burung. Perlengkapan tari yang dipakai adalah terompet, pedang atau tombak, sengo, kepala manusia dll.
- Tari patuddu ditujukan dalam acara untuk menyambut para tetamu dari luar maupun dalam negeri. Tarian ini merupakan tarian suku Mandar yang tinggal di Sulawesi Barat.
- Tari Bamba Manurung, ditujukan sewaktu acara pesta Adat Mamuju yang dihadiri oleh para penghulu adat beserta para tokok adat. Pakaian tari ini disebut baju Badu, dan di hiasi oleh bunga melati beserta kipas sebagai perlengkapan tarinya.
- Tari Bulu Londong, ditujukan pada acara Rambutuka sebagai rasa syukur penduduknya.Pakaian tari ini mengenakan baju adat Mamasa yang berbahan bulu burung. Perlengkapan tari yang dipakai adalah terompet, pedang atau tombak, sengo, kepala manusia dll.
- Tari patuddu ditujukan dalam acara untuk menyambut para tetamu dari luar maupun dalam negeri. Tarian ini merupakan tarian suku Mandar yang tinggal di Sulawesi Barat.
6.
Senjata Tradisional: Badik
Badik atau badek bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar.
Badik atau badek bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar.
Seni Terapan Dari Sulawesi
Selatan
1.
Kecapi
Bahan :
Kayu dan kawat baja yang kecil.
Bentuk : Seperti perahu
Warna : Sesuai nama kayunya, yang kelamaan berwarna hitam.
Bentuk : Seperti perahu
Warna : Sesuai nama kayunya, yang kelamaan berwarna hitam.
Cara pembuatannya
Sebelum
pembuatan kacapi dibuat terlebih dahulu menentukan dan memilih bahannya. Bahan
untuk alat kacapi ini dibuat dari kayu nangka dan dapat pula dari kayu lengaru
(bahasa Kaili). Kayu atau bahannya terlebih dahulu dipilih bagian kayu yang
telah tua lurus dan dipotong sepanjang ± 125 - 150 cm. Kayu yang masih bulat
itu dibelah dan dibentuk setebal ± 15 cm, kemudian dikeringkan, dan cukup hanya
dianginkan saja. Kayu yang setebal (tinggi) ± 15 cm dan lebar ± 20 cm, dibentuk
lagi dengan cara: Kira-kira 75 cm dibentuk agak pipih dengan lebar pangkal + 13
cm dan kian ke ujung kian kecil sehingga lebar ujungnya ±7 cm. Bagian yang
panjangnya + 75 cm, pada ujungnya dibuat seperti ekornya dengan ± 6 cm, dan
bagian kiri kanan dikeluarkan dan bagian tengahnya dengan garis tengah ± 22 cm
dari ekor kacapi, dan dibuat lubangditengah-tengah yang tembus ke bawah.
Pada
jarak ±55 cm dari tiang bundar dibuat lagi sebanyak 5 tiang yang bergandengan
dengan garis tengah ± 2 1/2 cm dengan jarak tiang masing-masing ± 5 cm.
Dibagian belakang atau bawah dari badan kacapi yang berbentuk bundar telur
dibuat rongga (digali) sepanjang badan kecapi tersebut. Selesai dibuat rongga,
lalu ditutup lagi dengan papan tipis yang juga dibuat dari kayu nangka dengan
cara dilem atau dipaku papan tipis penutup itu diberi lubang sebanyak 3 lubang.
Pada bagian leher yang melengkung ke atas berbentuk tiang dibuat lubang tembus
tempat masuknya tali yang dihubungkan dengan kayu pemutar.
Tiang
bulat pada bagian badan kecapi diikat dengan kawat yang ditarik kebelakang agar
tidak miring bila tali kecapi dikencangka. Dibagian ujung leher masih ada
bagian papa tipis sepanjang ± 30 cm, dan pada sisi sebelah-menyebelah dipasang
kayu pemutar tali, yang melekat pada lubang. Pemasangan tali kecapi dilakukan
dengan cara mengikatkan ujung tali di dalam lubang pada tiang bulat, kemudian
ditarik, dimasukkan pada lubang dibagian leher, ujungnya diputar/ dililitkan
pada kayu pemutarnya (seperti mengencangkan tali gitar).
Fungsi
Alat
kesenian kacapi ini berfungsi untuk mengiringi nyanyian, khususnya nyanyian
yang bersyair panjang disebut Dadendate artinya nyanyian panjang yang mempunyai
ciri khas. Kecapi ini adalah alat hiburan, baik untuk diri sendiri (petik
sendiri dan nyanyi sendiri) maupun bersama teman-teman. Apabila seseorang
memiliki/ menyimpan kecapi ini, itu berarti dia pandai bermain kecapi dan
pandai membawakan lagu dadendate.
2.
Rumah adat
Mendengar Tana Toraja yang pertama kali terpikir ialah
Sulawesi Selatan dan yang kedua adalah rumah tongkonan. Tepat sekali, bahwa
rumah tongkonan merupakan rumah adat Tana Toraja. Rumah adat ini memiliki
bentuk unik menyerupai perahu dari kerajaan Cina pada zaman dahulu. Tongkonan
juga disebut-sebut mirip dengan rumah adat asal Sumatera Barat, yaitu rumah
gadang. Rumah adat ini masih ditinggali sebagai tempat beraktivitas
sehari-hari.
“Tongkonan” sendiri berasal dari kata “tongkon” yang
berarti duduk. Tongkonan berfungsi untuk pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan
perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja pada zaman dahulu.
Rumah ini merupakan warisan secara turun-temurun dari nenek moyang rang Tana
Toraja.Rumah ini tidak bisa dimiliki perorangan
Rumah tongkonan dianggap sebagai ibu oleh Masyarakat
Toraja. Sedangkan bapaknya adalah alang sura (lumbung padi). Rumah tongkonan
memiliki tiga bagian di dalamnya, yaitu bagian utara, tengah, dan selatan.
Tengalok, yaitu ruangan di bagian utara berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat
anak-anak tidur, serta tempat menaruh sesaji. Ruang sambung, yaitu ruangan
sebelah utara merupakan ruangan untuk kepala keluarga namun juga dianggap
sebagai sumber penyakit. Ruangan yang terakhir, yaitu ruangan bagian
tengah yang disebut Sali. Ruang ini berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan
keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati.
Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, Tongkonan
Pekaindoran atau Pekaindoran, dan Togkonan Batu A’riri merupakan jenis
tongkonan yang memiliki fungsi secara khusus. Pertama, Tongkonan Layuk atau
Tongkonan Pesio’ Aluk, yaitu tempat untuk menciptakan dan menyusun aturan-aturan
sosial keagamaan.
Jenis kedua Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau
Tongkonan kaparengngesan, yaitu Tongkonan yang berfungsi sebagai tempat
pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan
Pesio’ Aluk. Tongkonan Batu A’riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang.
Utara merupakan arah yang penting bagi rumah adat tongkonan dan masyarakat Tana Toraja. Semua rumah tongkonan menghadap ke utara. Utara dan ujung atap yang berdiri berjejer mengarah ke utara merupakan lambing bahwa leluhur mereka berasal dari utara dan di waktunya nanti mereka akan berkumpul kembali di utara.
Kepala kerbau tak bisa dipisahkan dari rumah adat
tongkonan. Kepala kerbau menjadi ciri khas dari rumah tongkonan. Kepala kerbau
tersebut ditempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di
depan setiap rumah. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang terpasang di depan
rumah semakin tinggi pula derajat keluarga tersebut. Tanduk kerbau di depan
tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi keluarga yang mendiami rumah tersebut
saat upacara penguburan anggota keluarganya.
Kerbau dikurbankan dalam jumlah yang banyak setiap
upacara adat di Toraja seperti pemakaman. Tanduk kerbau yang dikurbankan
kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak
tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial
keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.
Aluk To Dolo merupakan empat warna dasar, yaitu hitam,
merah, kuning, dan putih mewakili kepercayaan asli Toraja. Kematian dan
kegelapan dilambangkan dengan warna hitam, sementara kuning melambangkan
anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah merupakan warna darah yang melambangkan
kehidupan manusia. Sementara daging dan tulang dilambangkan dengan warna putih
yang artinya suci.
Di sisi barat dipasang rahang kerbau yang pernah di
sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.
Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari
orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif
ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan
kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman.
Keunikan yang terdapat di rumah tongkonan ialah tidak
digunakannya unsur logam (seperti paku) dalam pembuatan tongkonan. Rumah adat
tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal
itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan
pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai
upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan
upacara pemakaman.
3.
BADIK
Badik atau badek adalah pisau dengan
bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi
tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap
kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak
pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Makassar, Bugis dan Mandar yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.
Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.
Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal. Di Makassar badik dikenal dengan nama badik sari yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa dan banong (sarung badik). Sementara itu badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali rangkong (Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian bagian: Pangulu (ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung)
Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri' dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri' ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain dari pada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Makassar, Bugis dan Mandar yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.
Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.
Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal. Di Makassar badik dikenal dengan nama badik sari yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa dan banong (sarung badik). Sementara itu badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali rangkong (Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian bagian: Pangulu (ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung)
Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri' dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri' ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain dari pada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.
4.
BAJU BODO
Dulu, baju bodo bisa dipakai tanpa penutup
payudara. Hal ini sudah sempat diperhatikan James Brooke (yang
kemudian diangkat sultan Brunei menjadi raja Sarawak) tahun
1840 saat dia mengunjungi istana Bone.
Perempuan Bugis
mengenakan pakaian sederhana. Sehelai sarung menutupi pinggang hingga
kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa),
memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.[2]
Cara
memakai baju bodo ini masih berlaku pada tahun sampai tahun 1930-an
Warna
|
Makna
|
Jingga
|
dipakai oleh kanak-kanak perempuan berumur 10 tahun.
|
Jingga dan merah
|
digunakan oleh gadis berumur 10-14 tahun.
|
Merah
|
bagi wanita berumur 17-25 tahun.
|
Putih
|
digunakan oleh para inang dan dukun.
|
Hijau
|
khas untuk wanita berketurunan bangsawan
|
Ungu
|
dipakai oleh para janda.
|
5. SARUNG SUTERA BUGIS MAKASSAR
Sarung sutera merupakan salah satu kerajinan daerah andalan dari sulawesi
selatan, pembuatannya banyak di temukan di daerah Sengkang Kab Wajo. Pembuatannya
umumnya masih menggunakan bahan dan alat tradisional. satu buah sarung
dapat di buat sekitar 1 bulan lamanya oleh satu orang, seperti pada gambar di
bawah ini
Untuk 1
buah sarung sutera dihargai sekitar Rp. 500.000,- sampai dengan Rp.
1.000.000,- tergantung dari motif dan bahan, sesuai dengan pesanan.
Motifnya pun bermacam macam seperti :
Bombang
(ombak)
Mungkin
karena masyarakat Bugis Makassar terkenal dengan budaya bahari (pelaut),
sehingga muncul pula motif bombang (Ombak) pada sarung suteranya. Motifnya
berbentuk segitiga sama sisi yang berjejeran dan sambung menyambung.
Balo
renni (corak kecil)
Motifnya
berbentuk garis-garis vertikal dan horizontal yang tipis yang saling
bersilangan sehingga nampak seperti kotak-kotak kecil atau dalam bahasa bugis
“renni”. Kombinasi warna dan kombinasi garis tersebut akan ditemui pada
keseluruhan kain sarung ini. Kecuali pada bagian kapalanna (kepala
sarung). Awalnya motif seperti ini hanya digunakan oleh gadis dan pria yang
menandakan mereka masih perawan dan lajang. tapi seiring dengan perkembangan
jaman, kebiasaan ini sudah mulai bergeser, sehingga siapa saja sekarang bisa
menggunakannya.
Moppang
(telungkup)
Dari
sekian banyak motif yang ada, motif inilah yang paling susah di jumpai.
Sarung dengan motif ini memang mempunyai kegunaan khusus, yaitu proses “Siri”
atau persenggamaan dalam sebuah sarung. Adat Bugis mengajarkan,
proses persetubuhan hanya boleh dilakukan dalam sebuah sarung, dimana suami
dan istri, bersama-sama masuk dalam sebuah sarung. Karena kegunaanya itu,
bentuknya pun lebih besar dan lebar dari sarung lainnya, dan karena
kegunaannya itulah sehingga sarung dengan motif ini biasanya di simpan atau
dipakai di tempat yang agak tersembunyi.
Motif
Tettong atau Makkulawu
Dan
masih banyak jenis motif lainnya yang di buat sesuai dengan kebutuhan
dan fungsinya.
SENI RUPA TERAPAN DARI SULAWESI UTARA
1. Rumah Adat
Rumah Pewaris
Nama lain dari Walewangko adalah Rumah Pewaris. Rumah adat yang satu ini memiliki tampilan fisik yang apik. Ia secara umum digolongkan sebagai rumah panggung. Tiang penopangnya dibuat dari kayu yang kokoh. Dua di antara tiang penyanggah rumah ini, konon kabarnya, tak boleh disambung dengan apapun. Bagian kolong rumah pewaris ini lazim dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan hasil panen atau godong. Seperti rumah adat lainnya, rumah adat Sulawesi Utara ini dibagi juga ke dalam beberapa bagian utama antara lain:
Jika kita cermati, keunikan rumah pewaris ini terletak dari
arsitektur depan rumah. Perhatikan saja susunan tangga yang berjumlah dua dan
terletak di bagian kiri dan kanan rumah. Konon kabarnya, dua buah tangga ini
berkaitan erat dengan kepercayaan suku Minahasa dalam mengusir roh jahat.
Apabila roh tersebut naik melalui tangga yang satu maka serta merta ia akan
turun lagi melalui tangga lainnya.
Rumah adat Bolaang Mangondow
Selain rumah pewaris atau Walewangko, dikenal juga rumah adat
Sulawesi Utara lainnya yakni Bolaang Mangondow. Rumah yang satu ini
memiliki atap yang melintang dengan bubungan yang sedikit curam. Bagian
tangganya ada di depan rumah dengan serambi tanpa dinding. Adapun ruang dalam
terdiri atas ruang induk dan ruang tidur. Ruang induk ini terdiri atas ruang
depa, tempat makan juga tempat tidur serta dapur yang ada di bagian belakang
rumah.
2.
Lainnya
a. Alat-alat rumah tangga: masih sering
dijumpai di desa-desa, antara lain nihu
(penampi beras/padi), loto (bakul), poroco (jenis bakul), rueng (belanga), rumping (belanga goreng),
ramporan (dodika/tempat memasak),
tampayang (tempayan),
mauseu/nuuseu/naaweyen/sincom (tempat nira dari bambu), salangka (peti tempat menyimpan
barang berharga), tepe (tikar), patekelan/panteran/koi (tempat
tidur), piso (pisau),dan lisung (lesung).
b.
Alat-alat pertanian: beberapa alat yang selalu dipakai penduduk dalam
pertanian seperti, pajeko (bajak),
sisir, pacol (pacul), sekop (tembilang), peda (parang), sambel (sabel), dan pati/tamako
(kapak).
c.
Alat-alat perburuan: alat-alat yang dahulu sering digunakan dalam perburuan,
antara lain tumbak (tombak), sumpit (senjata untuk burung saja), wetes/dodeso (jerat), sassambet (semacam jerat), dan sinapang (senapan).
d.
Alat-alat perikanan: alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Minahasa yang
berprofesi sebagai nelayan, yakni perahu sampan, perahu giob (lebih besar dari sampan), pelang (lebih besar dari giob),
soma (pukat besar), pukat, hohati (kail), nonae (umpan), sosoroka (semacam tombak yang khusus dipergunakan di danau), rompong (rumah di atas air yang telah
dipasang dengan jala), sesambe (berbentuk
seperti layar kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil), dan sero babu yang telah dianyam untuk
membungkus ikan.
e.
Alat-alat peternakan: alat-alat yang digunakan dalam beternak. Alat-alat ini
tidak terlalu banyak terdapat di Minahasa dikarenakan peternakan merupakan
pekerjaan sambilan saja. Alat-alat tersebut antara lain: lontang tempat makanan babi, roreongan
atau sangkar ayam.
f.
Alat-alat kerajinan: alat-alat yang digunakan dalam kerajinan masyarakat.
Alat-alat ini merupakan campuran dari alat-alat asli buatan orang Minahasa
dan alat-alat yang datang dari luar (yang berbahan logam). Beberapa alat
buatan penduduk antara lain, kekendong (alat
pemintal tali yang terbuat dari bambu atau kayu), jarong katu (penjahit atap yang juga dibuat dari bambu atau
kayu), gelondong atau jarong benang bambu, martelu (martil yang dibuat dari
kayu), sarong peda (sarung parang
yang terbuat dari kayu, bambu, dan pelepah pinang).
g.
Alat-alat transportasi: alat-alat perhubungan yang digunakan oleh masyarakat
Minahasa, antara lain roda sapi, bendi,
sampan atau perahu (ada beberapa jenis), dan rakit.
h.
Alat-alat peperangan, yakni alat-alat yang dipakai oleh masyarakat Minahasa
dahulu dalam berperang, antara lain kelung
(tameng), santi (pedang), kiris (keris), tumbak, pemukul, tamor (tambur), tettengkoren (tubuh dari bambu), pontuang (alat tiup dari kulit kerang), kolintang (dibuat dari perunggu yang sama dengan alat musik
Gamelan Jawa), dan gong.
i.
Alat-alat untuk menyimpan, antara lain godong
(gudang di bagian bawah rumah untuk menyimpan hasil-hasil produksi), cupa (volumenya hampir tiga liter,
terbuat dari bambu), gantang (volumenya
27 liter, terbuat dari kayu), walosong (tempat
menyimpan makanan, terbuat dari bambu), dan para-para (sejenis meja dari bambu tempat menaruh alat-alat
dapur).
3. PAKAIAN ADAT
Berbicara adat dan budaya Sulawesi Utara, kita tidak mungkin bisa dengan membicarakan satu suku sebagai perwakilan dari empat suku penduduk asli Sulawesi Utara. Keempat suku penduduk asli tersebut adalah; Suku bangsa Minahasa, Gorontalo, Sangir Talaud, dan Mongondow. Ke empat suku bangsa ini memiliki adat istiadat tersendiri, meski dalam beberapa hal terdapat kesamaannya. Begitu pun ketika kita membicarakan pakaian adat. Tulisan ini akan mencoba memaparkan pakaian adat dari ke empat suku bangsa tersebut. Sistematika tulisan ini, baiknya kita kategorikan pakaian adat dan perhiasan menurut fungsi dan kegunaannya saja, yakni; pakaian sehari-hari, pakaian upacara, dan pakaian upacara perkawinan. Agar kita mudah melihat ragam pembeda yang menjadi khas pada masing-masing daerah dan menemukan kesamaann di antara kekhasan tersebut. Karena jika kita membahas satu persatu dari keempat suku bangsa terebut, artikel ini tidak mungkin mampu menampung kekayaan makna yang terkandung dalam pakaian adat masyarakat Sulawesi Utara secara menyeluruh. Apalagi dengan hitungan populasi (BPS, 2010) jumlah penduduk 2.265.937 jiwa, dengan kepadatan 147,5/km², dan persentase suku bangsa asli Minahasa (30%), Sangir (19,8%), Mongondow (11,3%), Gorontalo (7,4%), dan keturunan Tionghoa (3%), kita akan benar-benar butuh ratusan halaman dan obserfasi lapangan. Baiklah langsung saja kita bicara soal pakaian sehari-hari dari keempat suku bangsa penduduk asli Sulawesi Utara. Dalam masyarakat Gorontalo, pakaian sehari-hari mereka berbahan mentah dari kapas atau biasa disebut molinggolo dipintal menjadi benang, dan ditenun alias mohewo. Polapakaian perempuan berbentuk kebaya dan tidak bermotif dan laki-laki kemeja lengan pendek. Sedangkan kain sarung dipakai oleh keduanya dan bermotif. Pakaian sehari-hari masyarakat Bolaang Mangondow pada jaman dulu dibuat dari kulit kayu dan serta nenas yang direndam air beberapa hari ini kemudian dipukul-pukul dan seratnya dibuka. Serat itu diebut lanut yang kemudian ditenun dan menjadi lembaran kain. Tapi hari ini kain yang terbuat dari serat lanut sudah tidak ditemukan lagi, karena masyarakat Bolaang Mangondow telah menggunakan pakaian berbahan katun (kapas) sebagai pakaian sehari-hari mereka. Seperti halnya masyarakat Bolaang Mangondow, suku bangsa Minahasa pada jaman dahulu telah menguasai pengetahuan dan keterampilan membuat kain dengan memanfaatkan kulit kayu dan dari sisanya yang bisa disebut manilahenep. Akan tetapi sekarang sudah tidak ditemukan lagi pakaian dari hasil kerajinan tangan tersebut. Hanya ada sejenis pakaian laki-laki yang bernama bajang di beberapa tempat. Namun pakai adat sehari-hari itu telah menggunakn kain hasil produksi pabrik yang bisa dibeli di toko-toko kain. Semenetara pakaian sehari-hari tradisional masyarakat Sangihe dan Talaud, yakni pakaian yang terbuat dari kain kofo dan dapat dikatakan kini sudah tidak ada lagi. Pakaian upacara masyarakat Gorontalo berfungsi untuk melihat status sesorang dalam upacara adat. Para pemangku adat atau bate-bate mengenakan sandang dengan pola dan motif yang berwarna; berbentuk kemeja kurung, celana pendek sebetis kaki (batik) yang biasa disebut talola bate. Sementara Jubah putih atau sandaria dipakai oleh pemimpin agama. Dan jas hitam, celana hitam adalah pakaian pejabat keamaan. Apabila kepala-kepala desa memakai kemeja batik bentuk baju kurung, celana putih pakai sarung dan ikan kepala alias payungu, menandakan bahwa mereka siap menjalankan perintah (mahiya pada waumatihimanga motubuhe tahilio lo ito Eya) Dalam upacara adat, suku bangsa Bolaang Mangondow memakai pakaian adat yang terbuat dari bahan mentah kain katun dan tetoron. Untuk pakaian laki-laki bisanya disebut baniang. Sementara untuk perempuan disebut salu, untuk dibuat jadi kebaya, sarung, dan selendang. Dalam upacara adat, laki-laki memakai destar semacam kain atau atau lenso yang diikat di kepala. Juga pomerus atau kain pelekat yang diikat pada pinggang. Sementara wanita memakai baju salu dengan pelengkap kain pelekat senket. Pada bagian dada dihiasi emas yang disebut hamunse. Di Minahasa, pakaian upacara bagi laki-laki adalah jas (sepasang), dan atau cukup dengan memakai kemeja dengan pelengkap dasi. Bagi kaum perempuan pakaian mereka tidak lain berupa sarung kebaya atau yapon. Bagi masyarakat Sangihe Talaud, seperangkat pakaian upacara yang biasa dikenakan terdiri dari baju panjang, ikat pinggang dan ikat kepala, dengan warna-warna dominan merah, hitam dan biru. Bentuk model pakaian tersebut hampir tidak terbedakan antara untuk laki-laki dan pempuan. Bentuknya menyerupai baju alian juhan yang disebut “laku tepu”, pembeda diantara pakai laki-laki dan perempuan hanya panjangnya, bagi laki-laki hanya samapai pertengahan betis. Mari kita kembali pada masyarakat Gorontalo. Dalam upacara perkawinan, suku bangsa Gorontalo memiliki pakaian adat uapacara perkawinan yang dinamakan urasipungu yang terdiri dari; kebaya pengantin perempuan terbuat dari kain saten dan diberi hiasan perak sepuhan. Sementara pengantin laki-laki mengenakan pakaian semacam kemeja kurung dari bahan yang sama dengan pengantin perempuan yang disebut kimunu. Kedua mempelai juga memakai kain sarung yang terbuat dari satin. Selain itu pelengkap berikutnya dalah Paluala yang berfungsi sebagai penutup kepala pengantin wanita yang terbuat dari kain satin dengan hiasan sunting atau biliu yang terbuat dari perak. Hiasan lainnya adalah kecubu, kain beludru dengan hiasan perak yang digantungkan pada leher pengantin wanita. Dalam upacara perkawinan suku Bolaang Mangondow, pengantin wanita memakai sunting; semacam hiasan sanggul yang bahannya terdiri dari emas. Di dahi pengantin memakai hiasan yang disebut logis yang terbuat dari benang hitam. Kita langsung saja pada pakaian adat Sangihe Talaud yang secara umum, pakaian upacara perkawinan mereka hampir sama dengan upacar-upacara adat lainnya seperti perayaan hari raya “Mohobing Datu”, penasbihan tuknag besi, hari-hari istimewa dan para penari. Awalnya, Propinsi Sulawesi Utara adalah empat wilayah administrasi yang terbagi berdasarkan empat wilayah suku bangsa yangtelah kita urai di atas. Namunkekinian, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, Gorontalo dibentuk Propinsi sebagai pemekaran dari Propinsi Sulawesi Utara melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Maka wilayah Propinsi Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow. Pada Tahun 2003 Propinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan 1 Kota lagi dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon serta Kabupaten Kepulauan Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi Kabupaten/Kota yakni Kab. Minahasa Tenggara, Kab. Bolmong Utara, Kab. Sitaro dan Kota Kotamobagu. Namun sejatinya, suku bangsa asli masyarakat Sulawesi Selatan adalah empat suku bangsa di atas yang budaya dan adat istiadatnya patut kita perhatikan kelestariannya sebelum benar-benar dimusiumkan.
4.
Kolintang
Kolintang adalah sebuah alat musik
tradisional yang terkenal di daerah Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Bahan
untuk membuat kolintang ini adalah kayu. Ada yang dibuat dari bahan kayu bernama
kayu bandaran, ata kayu wenang, dan lain sebagainya. Umumnya kayu yang dibuat
untuk membuat Kolintang ini adalah kayu-kayu ringan, namun memiliki serat
kayu yang padat. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul. Bahkan
Kolintang ini terkenal dapat mengeluarkan bunyi yang khas karena bisa
digunakan untuk mengeluarkan bunyi nada rendah maupun nada tinggi.
5. Pakaian Sangihe
SENI RUPA TERAPAN DARI SULAWESI TENGAH
·
Di Sulawesi Tengah, setiap etnis
memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya
pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal
dengan nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh
remaja putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya. Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka
Pajana.
·
Pakaian adat etnis Mori terdiri
pakaian adat untuk perempuan yaitublus
lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu Sementara itu, untuk
pakaian adat yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan panjang atau bahasa
Mori dengan sebutan Lambu.
·
pakaian adata etnis Toli-Toli di
Kabupaten Toli-Toli Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau
Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi
manik-manik dan pita emas.Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan
panjang dengan leher tegak yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama
kuning.
·
pakaian adat etnis Saluan
di Kab. Luwuk. Perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn
bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune. Para kaum
pria atnis saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan
adalah Pakean Nu’moane, celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan
adalah Koja, penutup kepala/topi (Sungkup Nu’ubak), sarung pelengkap celana
panjang (Lipa).
1. PAKAIAN ADAT Pakaian tradisional merupakan bentuk fisik atau artefak budaya yang dimiliki suatu wilayah. Pakain budaya dapat memperlihatkan keragaman dan kekayaan negeri ini. Pakaian daerah juga dapat memperkokoh jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memegang teguh semboyan “Bhineka Tungga Ika”. Apabila di jawa terkenal dengan kebayanya, lantas di nias terkenal dengan pakaian baru oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan,. Maka di Sulawesi Tengah kita akan banyak menemukan berbagai pakaian adat. Di Sulawesi Tengah, setiap etnis memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal dengan nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh remaja putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya. Baju Nggembe berbentuk segi empat, berkerah bulat berlengan selebar kain, panjang blus sampai pinggang dan berbentuk longgar. Baju Nggembe ini dilengkapi dengan penutup dada atau sampo dada dan memakai payet sebagai pemanis busana. Sarung tenun Donggala menjadi aksesoris bagian bawah pakaian ini. Donggala yang berbenang emas dalam bahasa Kaili disebut dengan Buya Sabe Kumbaja. Cara pemakaian pakai adat ini mengalami perkembangan, dalam perkembangannya pemakaian sarung Donggala dirubah dengan mengikat sarung dan kemudian disamping kiri atau kanan dilipat untuk memperindah serta memberi kebebasan bergerak bagi si pemakai. Aksesoris yang digunakan untuk pakaian ini ialah anting-anting panjang atau Dali Taroe, Kalung beruntai atau Gemo, Gelang panjang atau Ponto Ndate, Pending atau Pende. Pende atau pending merupakan ikat pinggang yang digunakan pada saat seseorang (perempuan) memainkan tarian khas Sulawesi Tengah. Bahan emas dan perak menjadi bahan untuk membuat ikat pinggang ini dengan cara dicetak. Pada bagian dalam pende dibuat sebuah tempat untuk memasukkan tali pengikat kain yang berwarna kuning dan diberi hiasan. Namun dalam perkembangannya, hari tidak lagi digunakan ikat pinggang seperti itu. Ikat pinggang biasa lebih banyak digunakan hari ini untuk dikenakan bersama pakaian ini. Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka Pajana. Pakaian ini terdiri dari dua bagian, yaitu Baju Koje dan Puruka Pajama. Baju Koje atau baju ceki adalah kemeja yang bagian keragnya tegak dan pas dileher, berlengan panjang, panjang kemeja sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana. Puruka Pajana atau celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnya harus lebar agar mudah untuk duduk dan berjalan. Sarung dipinggang, keris, serta sebagian kepala menggunakan destar atau siga menjadi aksesoris pakaian ini. Pakaian adat berikutnya ialah pakaian adat etnis Mori di Kab. Morowali. Pakaian adat etnis Mori terdiri dari pakaian adat untuk perempuan dan laki-laki. Kaum hawa biasa mengenakan blus lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu, berwarna merah dengan hiasan dan motif rantai berwama kuning. Untuk bawahannya merka mengenakan rok panjang berwama merah atau hawu juga bermotif rantai berwama kuning. Mahkota atau pasapu digunakan untuk bagian kepala. Adapun aksesoris yang digunakan pada pakaian ini ialah Konde atau Pewutu Busoki, Tusuk Konde atau Lansonggilo, Anting-anting atau Tole-tole, Kalung atau Enu-enu, Gelang Tangan atau Mala, Ban Pinggang atau Pebo’o, Cincin atau Sinsi. Sementara itu, untuk pakaian adat yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu. Kemeja ini berwarna merah dengan hiasan motif rantai berwama kuning sama seperti pakaian perempuan. Untuk bawahan kaum laki-laki menggunakan celana panjang berwama merah atau Saluara. Bate atau destar digunakan dibagian kepala. Ikat pinggang menjadi perlengkapan untuk pakaian adat pria. Pakaian adat etnis selanjutnya ialah pakaian adata etnis Toli-Toli di Kabupaten Toli-Toli. Seperti adat lainnya, pakaian adat etnis Toli-Toli terdiri dari pakaian adat perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas. Bawahan yang dikenakana, yaitu celana panjang atau Puyuka panjang dihiasi pita emas dan manik-manik. Sarung juga digunakan namun sebatas lutut atau Lipa. Kemudian dikenakan pula selendang atau Silempang dan ban pinggang berwarna kuning. Aksesoris yang digunakan dalam pakaan ini ialah anting-anting panjang, gelang panjang, kalung panjang warna kuning, dan kembang goyang. Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan panjang dengan leher tegak yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning. Utuk bawahan celana panjang atau Puyuka panjang. Digunakan pula sarung sebatas lutut dan tutup kepala atau Songgo. Berikutnya ialah pakaian Adat Etnis Saluan di Kab. Luwuk. Pada pakaian adat etnis ini, perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune. Rok panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Rok Mahantan menghiasi bawahan pakaian ini. Digunakan pula perhiasan berbentuk bintang. Adapun aksesoris yang digunakan ialah gelang atau potto, kalung atau kalong, sunting, anting atau sunting, jaling, selempang atau salandoeng. Para kaum pria atnis saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Pakean Nu’moane, celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Koja, penutup kepala/topi (Sungkup Nu’ubak), sarung pelengkap celana panjang (Lipa). Ada pun bahan yang digunakan pakaian sehari-hari ialah bahan yang teridiri dari kulit kayu Nuru (pohon beringin). Pembuatan bahan pakaian ini meliputi: Menguliti kayu Nunu sebagai sumber bahan. Merebus kulit kayu tersebut sampai masak lalu di bungkus selama tiga hari. Di cuci dengan air untuk membersihkan getahnya dan biasanya menggunakan pula abu dapur. Kulit kayu tersebut di pukul dengan alat yang disebut pola (bahannya dari batang enau) sampai mengembang dan melebar. Kemudian dipukul dengan alat yang bernama tinahi yang di buat dari batu yang agak kasar. Disini dapat disambung bahan yang satu dengan bahan yang lainnya agar menjadi lebar dan panjang, di susul dengan alat ike yang halus sampai bahan tersebut sudah menjadi sehelai kain yang panjangnya tiga sampai lima meter. Setelah menjadi kain kemudian di gantung untuk di anginkan (nillave) Sesudah kering dilipat untuk diratakan dengan pola tidak bergigi (niparondo) yaitu semacam setrika. Pakaian upacara menggunakan kulit kayu Ivo sebagai bahannya. Kulit kayu Ivo merupakan kulit kayu yang lebih halus dan bermutu, dan lebih baik daripada yang terbuat dari kulit kayu Nunu. |
Apabila di jawa terkenal dengan
kebayanya. Di sulawesi tengah terkenal dengan pakaian adat etnis kaili kota
palu. pakaian adat wanita yang disebut baju nggembe, biasanya dipakai
upacara adatnya. Dan pakaian adat pria benama baju koje/puruka pajana.
2. Souraja / Rumah besar (berfungsi
sebagai tempat tinggal/rumah adat) & Rumah Tambi
RUMAH SOURAJA RUMAH
TAMBI
|
Rumah
tradisional masyarakat Sulawesi Tengah yang diwariskan oleh keluarga bangsawan
suku-bangsa Kaili
Rumah
ini merupakan rumah kediaman tidak resmi bagi manggan atau raja beserta
keluarganya, terutama yang tinggal di daerah pantai dan kota. Rumah
sejenis ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Banua
Mbaso yang dibangun oleh Raja Palu yang usianya ratusan tahun tersebut,
hingga saat ini masih terawat dengan baik. Rumah tinggal penduduk Sulawesi
Tengah disebut 'tambi', yang merupakan tempat tinggal untuk segala lapisan
masyarakat. Yang membedakan rumah sebagai tempat tinggal kalangan bangawan
dengan rakyat biasa terletak pada bubungan rumah para bangsawan dipasang simbol
kepala kerbau, sedangkan rumah rakyat biasa tidak dipasang simbol tersebut.
Rumah tambi merupakan rumah di atas tiang yang terbuat dari kayu bonati. Bentuk
rumah ini segi empat dan bentuk atapnya piramida yang
terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Ukurannya tergantung dari kemampuan
masing-masing pemiliknya. Pada bangunan-bangunan tradisional dihias dengan
berbagai bentuk ragam hias yang menggunakan motif-motif tertentu, terutama
motif fauna dan flora. Ragam hias dengan motif fauna terdiri dari 'pebaula'
(berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan 'bati' (ukiran kepala kerbau, ayam,
atau babi). Ragam hias ini tidak diukir seperti benda-benda ukiran biasa,
tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi. Ukiran kerbau merupakan simbol
kekayaan, kesuburan dan kesejahteraan pemilik rumah. Sedangkan ragam hias
dengan motif flora (pompeninie) merupakan sobekan-sobekan kain yang dibuat dari
kulit kayu. Kain yang berwarna-warni tersebut diikat dengan rotan, sehingga
terangkai menjadi suatu bentuk ragam hias, yang maksudnya agar penghuni rumah
terhindar dari segala gangguan roh-roh jahat. Umumnya bentuk bunga yang sering
dibuat sebagai ragam hias rumah. Warna ragam hias ini bermacam-macam, biasanya
berwarna merah, putih, kuning, hitam, biru atau hijau.
Anjungan
Sulawesi Tengah menyajikan empat buah bangunan tradisional, yakni souraja, rumah adat bangsawan suku Kaili; rumah adat suku To
Lobo (tambi) dari Lone
Selatan, lumbung padi (gambiri), dan
sebuah bangunan kantor merangkap gerai seni.
Rumah souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang segiempat dari kayu; beratap bentuk piramide segitiga: bagian depan dan belakang ditutup dengan papan berukir (panapiri) serta pada ujung bubungan bagian depan dan belakang berhias mahkota berukir (bangko-bangko). Bangunan terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang depan (lonta karawana) untuk menerima tamu dan untuk tidur tamu yang menginap; ruang tengah (lonta tatangana) untuk tamu keluarga; serta ruang belakang (lonta rorana), untuk ruang makan, meskipun kadang-kadang ruang makan berada di lonta tatangana. Tempat tidur perempuan dan anak gadis berada di pojok belakang lonta rorana. Dapur (avu), sumur, dan jamban berada di belakang sebagai bangunan tambahan yang dihubungkan melalui hambate, yang berarti jembatan, ke rumah induk. Rumah souraja di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan sebagai tempat pameran dan peragaan berbagai aspek budaya: lonta tatangana sebagai ruang pamer berbagai busana daerah serta pasangan pengantin Kaili lengkap dengan pengiringnya; lontana rorana dipergunakan sebgai tempat peragaan ruang tidur keluarga; dan avu dimanfaatkan sebagai ruang peragaan pembuatan kain sarung Donggala.
Rumah tambi berbentuk segi empat dengan atap menyerupai piramida memanjang dan curam yang sekaligus sebagai dinding rumah. Badan rumah dan atap ditopang tiga atau lima susun balok kayu bulat sebagai gelagar dan diletakkan di atas tiang-tiang batu cadas lonjong yang ditanam di dalam tanah. Hanya ada satu pintu, terletak di samping kiri bagian depan rumah. Ruangan dalam rumah (lobana) tanpa kamar. Di tengah lobana terdapat dapur (rapu), di atasnya diletakkan para-para yang ditopang empat buah tiang. Selain untuk tempat memasak, rapu juga menjadi sumber cahaya dan pemanas di waktu malam atau musim dingin. Ruangan kosong di sekitar dapur dipergunakan untuk ruang makan, ruang tidur, dan untuk menerima tamu keluarga. Daun pintu dihias ukiran kepala kerbau, sedang di tiang-tiang ke bubungan tergantung tanduk kerbau berbagai ukuran yang disusun berurut ke atas mulai yang paling besar dan panjang. Tambi di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan untuk peragaan pembuatan kain dan kulit kayu haili atau kantevu yang sampai sekarang masih dipakai oleh suku Kulawi. Di sebelah utara tambi dibangun sebuah duhungan atau lobo yang aslinya hingga sekarang masih dapat di temui di daerah Plana, Lone Selatan, suatu rumah panggung empat persegi panjang tanpa kamar dan berdinding separuh terbuka dengan lantai tiga tingkat. Duhungan atau lobo digunakan sebagai ruang upacara adat serta panggung seni pada hari-hari libur atau hari besar. Pergelaran seni berupa tarian tradisional Sulawesi Tengah, seperti tari dero, yakni jenis tari pengantar yang memberi kesempatan kepada para penonton untuk ikut menari bersama-sama.
Dua buah patung tiruan Tadulako dan Langkae Bulava merupakan peninggalan prasejarah yang banyak berserakan di daerah Los Selatan. Tadulako menggambarkan seorang ayah yang tampan dan gagah perkasa, sedangkan Langke Bulova melambangkan seorang ibu yang cantik. Anjungan Sulawesi Tengah pernah dikunjungi tamu-tamu negara, antara lain Istri Perdana Menteri Luxemburg, Ny.Gaston Thorn, tahun 1978 dan 1984.
Rumah souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang segiempat dari kayu; beratap bentuk piramide segitiga: bagian depan dan belakang ditutup dengan papan berukir (panapiri) serta pada ujung bubungan bagian depan dan belakang berhias mahkota berukir (bangko-bangko). Bangunan terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang depan (lonta karawana) untuk menerima tamu dan untuk tidur tamu yang menginap; ruang tengah (lonta tatangana) untuk tamu keluarga; serta ruang belakang (lonta rorana), untuk ruang makan, meskipun kadang-kadang ruang makan berada di lonta tatangana. Tempat tidur perempuan dan anak gadis berada di pojok belakang lonta rorana. Dapur (avu), sumur, dan jamban berada di belakang sebagai bangunan tambahan yang dihubungkan melalui hambate, yang berarti jembatan, ke rumah induk. Rumah souraja di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan sebagai tempat pameran dan peragaan berbagai aspek budaya: lonta tatangana sebagai ruang pamer berbagai busana daerah serta pasangan pengantin Kaili lengkap dengan pengiringnya; lontana rorana dipergunakan sebgai tempat peragaan ruang tidur keluarga; dan avu dimanfaatkan sebagai ruang peragaan pembuatan kain sarung Donggala.
Rumah tambi berbentuk segi empat dengan atap menyerupai piramida memanjang dan curam yang sekaligus sebagai dinding rumah. Badan rumah dan atap ditopang tiga atau lima susun balok kayu bulat sebagai gelagar dan diletakkan di atas tiang-tiang batu cadas lonjong yang ditanam di dalam tanah. Hanya ada satu pintu, terletak di samping kiri bagian depan rumah. Ruangan dalam rumah (lobana) tanpa kamar. Di tengah lobana terdapat dapur (rapu), di atasnya diletakkan para-para yang ditopang empat buah tiang. Selain untuk tempat memasak, rapu juga menjadi sumber cahaya dan pemanas di waktu malam atau musim dingin. Ruangan kosong di sekitar dapur dipergunakan untuk ruang makan, ruang tidur, dan untuk menerima tamu keluarga. Daun pintu dihias ukiran kepala kerbau, sedang di tiang-tiang ke bubungan tergantung tanduk kerbau berbagai ukuran yang disusun berurut ke atas mulai yang paling besar dan panjang. Tambi di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan untuk peragaan pembuatan kain dan kulit kayu haili atau kantevu yang sampai sekarang masih dipakai oleh suku Kulawi. Di sebelah utara tambi dibangun sebuah duhungan atau lobo yang aslinya hingga sekarang masih dapat di temui di daerah Plana, Lone Selatan, suatu rumah panggung empat persegi panjang tanpa kamar dan berdinding separuh terbuka dengan lantai tiga tingkat. Duhungan atau lobo digunakan sebagai ruang upacara adat serta panggung seni pada hari-hari libur atau hari besar. Pergelaran seni berupa tarian tradisional Sulawesi Tengah, seperti tari dero, yakni jenis tari pengantar yang memberi kesempatan kepada para penonton untuk ikut menari bersama-sama.
Dua buah patung tiruan Tadulako dan Langkae Bulava merupakan peninggalan prasejarah yang banyak berserakan di daerah Los Selatan. Tadulako menggambarkan seorang ayah yang tampan dan gagah perkasa, sedangkan Langke Bulova melambangkan seorang ibu yang cantik. Anjungan Sulawesi Tengah pernah dikunjungi tamu-tamu negara, antara lain Istri Perdana Menteri Luxemburg, Ny.Gaston Thorn, tahun 1978 dan 1984.
A. Selayang Pandang
Banua Mbaso atau lazim
dikenal dengan Sou Raja berarti rumah besar atau rumah raja. Banua
Mbaso ini merupakan rumah tradisional masyarakat Sulawesi Tengah yang
diwariskan oleh keluarga bangsawan suku-bangsa Kaili. Rumah jenis ini pertama kali
dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Rumah ini merupakan rumah
kediaman tidak resmi bagi manggan atau raja beserta keluarganya,
terutama yang tinggal di daerah pantai dan kota. Rumah sejenis ini dapat ditemukan
di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Banua Mbaso yang dibangun oleh
Raja Palu yang usianya ratusan tahun tersebut, hingga saat ini masih terawat
dengan baik.
Secara keseluruhan, bangunan Banua Mbaso terbagi atas tiga ruangan,
yaitu:
·
Lonta karawana (ruang
depan). Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu. Sebelum ada meja dan kursi,
di ruangan ini dibentangkan onysa (tikar). Ruangan ini juga berfungsi
sebagai tempat tidur para tamu yang menginap.
·
Lonta tata ugana (ruang
tengah). Ruangan ini khusus untuk menerima tamu yang masih ada hubungan keluarga.
·
Lonta rorana (ruang
belakang). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang makan. Terkadang ruang makan
juga berada di lonta tata ugana. Di pojok belakang ruangan ini
khusus untuk kamar tidur anak-anak gadis agar mudah diawasi oleh orang tua.
Untuk urang
avu (ruang dapur), sumur dan jamban, dibuatkan bangunan tambahan atau
ruangan lain di bagian belakang yang terpisah dengan bangunan utama. Untuk
menghubungkan bangunan induk dengan ruang dapur tersebut dibuatkan jembatan
beratap yang disebut dengan hambate atau dalam bahasa Bugis disebut jongke.
Di jembatan beratap ini, biasanya dibuatkan pekuntu, yakni ruang terbuka
untuk berangin-angin. Di kolong bangunan utama, biasanya dijadikan sebagai
ruang kerja untuk pertukangan atau tempat beristirahat di siang hari. Sementara
loteng rumah dipergunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka dan lain-lain.
B. Keistimewaan
Bangunan Banua Mbaso memiliki arsitektur
yang cukup unik dan artistik. Uniknya, rumah ini berbentuk panggung yang
merupakan perpaduan antara arsitektur rumah adat (Bugis) di Sulawesi Selatan
dan rumah adat di Kalimantan Selatan. Bangunan rumah ini ditopang oleh sejumlah
tiang kayu balok persegi empat dari kayu-kayu pilihan yang berkualitas tinggi,
seperti kayu ulin, bayan, atau sejenisnya, sehingga bangunan rumah ini dapat
bertahan sampai ratusan tahun. Atap bangunan ini berbentuk piramida segitiga
yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang disebut dengan panapiri.
Menariknya lagi, pada ujung bubungan bagian depan dan belakang diletakkan
mahkota berukir yang disebut dengan bangko-bangko.
Bangunan Banua Mbaso ini tampak lebih
artistik, karena hampir semua bagian bangunan ini diberi hiasan berupa
kaligrafi Arab dan ukiran dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan.
Hiasan-hiasan tersebut terdapat pada jelusi-jelusi pintu atau jendela,
dinding-dinding bangunan, loteng, ruang depan, pinggiran cucuran atap, papanini,
dan bangko-bangko. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan,
kemuliaan, keramah-tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya.
3.
SENJATATRADISIONAL: PASATIMPO
Pasatimpo adalah
sejenis keris yang bentuk hulunya bengkok ke bawah dan sarungnya diberi tali.
Senjata ini sering digunakan oleh
masyarakat setempat dalam tari-tari penyembuh yang berfungsi sebagai pengusir
roh-roh jahat. Kini, Pasa timpo lebih sering digunakan dalam tari-tari
kepahlawanan. Fungsinya hanya untuk membesarkan jiwa penarinya. Karena keris
tidak digerakan tetapi cukup diikatkan saja pada pinggangpenari sebagai hiasan.
4. TENUN DONGGALA
Masyarakat Sulawesi Tengah
biasanya menggunakan tenun donggala sebagai sarung ketika upacara adat.
Uniknya, mereka tak hanya membebat satu helai kain melainkan dua buah. Walaupun
panjangnya bisa mencapai 4 meter, tenun donggala yang asli hanya memiliki lebar
60 sentimeter karena keterbatasan lebar dari Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Inilah yang menyebabkan mereka memerlukan dua buah tenun untuk membuat sarung
yang sempurna.
5. SENI PATUNG
Dua patung suku terasing
yang terbuat dari sabut kelapa, Palu, Sulawesi tengah.
SENI RUPATERAPAN DARI SULAWESI TENGGARA
1.
RUMAH ADAT LAIKAS
Berfungsi
sebagai tempat tinggal
Elemen Budaya: Produk Arsitektur
Provinsi: Sulawesi Tenggara
Asal Daerah: Kendari
Provinsi: Sulawesi Tenggara
Asal Daerah: Kendari
Laikas merupakan rumah adat yang
terdiri dari tiga lantai, lantai pertama merupakan tempat kediaman raja, lantai
kedua untuk tempat keluargadan ketiga untuk tempat sholat, pada kiri dan kanan
lantai dua terdapat ruangan tempat menenun kain yang bernama bane.
2.
SENJATA TRADISIONAL : KERIS
3.
Istana
Sultan Buton disebut juga Malige.
4.
PAKAIAN ADAT
Prianya
memakai pakaian adat berupa tutup kepala (destar), Sedangkan
wanitanya memakai baju kebaya).
SENI
RUPA TERAPAN DARI GORONTALO
1.
Bandayo Po Boibe (berfungsi sebagai tempat tinggal/rumah adat
Rumah adat Bandayo Pamboide digunakan juga digunakan sebagai
tempat bermusyawarah. Dulu Rumah Bandayo Pomboide ini difungsikan sebagai
tempat pagelaran budaya khas Gorontalo. Berbeda dengan Doluhapa, bagian dalam
Bandayo Pomboide mempunyai banyak sekat sehingga memiliki bermacam ruangan yang
fungsiya juga beragam.
Jika diamati secara keseluruhan, disain arsitektur rumah adat ini
(baik Doluhapa dan Bandayo Pomboide) banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam
yang tumbuh dan kental di wilayah Gorontalo sejak dahulu.
2.
Bele li Mbui (berfungsi sebagai tempat
tinggal/rumah adat)
3.
Senjatatradisional :
wamilo
Senjata tradisional
ini berbentuk seperti golok. Namun, bagian ujung hulunya sedikit melengkung ke
bawah. Senjata tradisional lainnya adalah badik, Wamilo, Bitu'o (sejenis
Keris), Sabele (sejenis Parang atau Lilang) dan Travalla.
4.
PAKAIN ADAT
Pakaian adat Gorontalo yang biasa dikenakan pada saat upacara
pernikahan, upacara khitanan, upacara baiat (pembeatan wanita), upacara
penyambutan tamu, maupun upacara adat lainnya. Pakaian adat pada pria berupa
baju tertutup yang dipadankan dengan celana panjang. Pakaian ini dilengkapi
penutup kepala dan kain sarung yang dililitkan di pinggang. Serta ada senjata
tradisional wamilo diselipkan dililitan sarung tersebut.
Sedangkan pakaian adat pada wanita berupa baju berukuran panjang sejenis baju kurung. Dan anting berwarna emas. Biasanya, rambut wanita disanggul dengan bentuk sederhana dan dihiasi kembang emas.
Sedangkan pakaian adat pada wanita berupa baju berukuran panjang sejenis baju kurung. Dan anting berwarna emas. Biasanya, rambut wanita disanggul dengan bentuk sederhana dan dihiasi kembang emas.
5.
RUMAH ADAT
Dulohupa
(berfungsi sebagai tempat tinggal/rumah adat)
Dolohupa merupakan
rumah adat Gorontalo yang digunakan untuk tempat bermusyaarah. Pada masa-masa
pemerintahan raja, Doluhapa digunakan untuk ruang pengadilan, tmpat untuk
memvonis penghianat melalui 3 aturan yaitu:
- Alur pertahanan (keamanan), dikenal sebagai Buwatulo Bala;
- Alur hukum agama islam, dikenal sebagai Buwatulo Syara;
·
Alur Hukum adat, dikenal sebagai Buwatulo Adati.
Kini rumah adat Doluhapa digunakan oleh masyarakat
Gorontalo difungsikan untuk tempat menjalankan upacara pernikahan dan juga
upacara adat lain nya.
6.
SENJATA TRADISIONAL :KERIS
7
7. Sabele/Parang
(berfungsi sebagai senjata)
8.
Alat musik : Polopalo
Alat musik ini terbuat dr bambu, berbentuk
seperti garputala raksasa dan cara memainkannya yaitu dengan memukulkannya ke
lutut. Pada perkembangannya, alat musik ini disempurnakan pada beberapa hal,
salah satunya adalah kini Polopalo dibuatkan sebuah pemukul dari kayu yang
dilapisi karet agar membantu dan mempermudah untuk memainkannya. Pengembangan
ini memberi perubahan selain tidak memeberi rasa sakit pada bagian tubuh yang
dipukul, juga membuat alat musik ini berbunyi lebih keras atau nyaring
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sulawesi sebagai komunitas
kutural memang mempunyai kebudayaannya sendiri yang ditampilkan lewat
unsur-unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu, masing-masing
unsur berbeda pada tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu terhadap
unsur-unsur yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula
bagi pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam
pemahaman dan penularan kebudayaan.
Kalau boleh dikatakan, menangkap deskripsi budaya Sulawesi adalah
upaya yang harus serius, kalau tidak ingin menjadi punah. Kepunahan suatu
kebudayaan sama artinya dengan lenyapnya identitas. Hidup tanpa identitas
berarti berpindah pada identitas lain dengan menyengsarakan identitas semula.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.co.id